Langsung ke konten utama

MAKALA, dan segala emosi yang menyertainya.



Film menjadi salah satu hal yang membuat saya bahagia di hari libur, selain bertemu keluarga. Namun karena saya pemilah-milah, tidak semua film akan saya tonton. Ada 4 genre film yang paling saya sukai secara berurutan: documenter, history, biography, romantic drama. Alhamdulillah hobi ini didukung dengan event Europe on Screen yang diselenggarakan setahun sekali. Sudah sekitar 4 tahun belakangan saya rajin numpang nonton film di event ini karena filmnya yang “antimainstream”

Kali ini saya akan mengulas film yang sangat berkesan di hati saya. Judulnya: MAKALA. Film ini merupakan sebuah film dokumenter dari Prancis, garapan sutradara Emmanuel Gras (beliau terkenal suka membuat film dokumenter). Dalam film ini Gras menceritakan perjalanan Kasongo, seorang pemuda sekitar 26 tahun, yang hidup bersama istri dan 3 anaknya. Kasongo tinggal di Walemba, sebuah kawasan terpencil di Republik Kongo, Afrika, yang jaraknya kurang lebih 1900 km dari Kinshasa. Diceritakan dalam film ini, Kasongo bertahan hidup dengan menjual arang. Mungkin itulah sebabnya film ini berjudul Makala, yang dalam bahasa Swahili artinya arang/charcoal.


Gambar. Peta yang menggambarkan tempat tinggal Kasongo. Walemba diberi kode N29.

Gras telah berhasil mencuri hati saya sedari awal film ini di mulai. Ia menggambarkan lanskap daerah terpencil dengan sangat apik. Sebuah rumah ala kadarnya, dengan bukit, jalan terjal, pepohonan, dan angin yang kadang bertiup tanpa ampun. Waktu 15 menit ia gunakan untuk menceritakan dengan detail bagaimana Kasongo bekerja dengan menebang pohon besar sendirian dengan kapak kecilnya. Sesuatu yang bagi masyarakat awam akan sangat menakjubkan melihat bagaimana 1 orang manusia bisa “mengeksekusi” satu pohon sedemikian besar sendirian kemudian memotong-motongnya menjadi bagian kecil, memindahkannya ke tempat khusus untuk dibuat menjadi arang, hingga proses pembuatan api yang sangat sederhana.

Di tengah-tengah pekerjaannya, kita dapat melihat sisi manusiawi Kasongo yang kelelahan dan hampir ingin menyerah. Di tengah kelelahannya itu, ia ambil sebotol air yang ia bawa dari rumah. Ia duduk meringkuk di dekat pohon besar yang tumbang itu seraya lirih berdoa kepada Yesus: agar ia diberikan kekuatan dalam menyelesaikan pekerjaannya, agar ia dan keluarganya sehat, agar rumah yang ia tempati aman. Saya tidak sadar mulai terbawa perasaan di sana: mengingat betapa mudah saya mengeluh tatkala beban-beban kerja mulai menjadi makanan yang tak kunjung habis dimakan.

Pada seting tempat yang lain, Gras menyoroti keluarga Kasongo. Potret sang istri yang masih berusia belasan tahun dengan anak-anaknya yang masih kecil. Jika Anda kaum yang suka nyinyir dengan orang yang banyak anak, saya yakin Anda akan mempertanyakan: Kenapa tidak KB saja?. Tapi lupakan. Lupakan KB, anak Kasongo yang berhari-hari diare saja belum mampu untuk dibelikan obat, apalagi sampai mau mikir KB. Oiya, mengapa anak Kasongo sampai diare begitu? Bukankah orang desa/di daerah terpencil biasanya lebih sehat karena makanannya “langsung” dari alam?. Iya, dari alam memang. Jika anda termasuk orang yang mudah jijik, Anda akan muntah menyaksikan istri Kasongo memegang ekor tikus besar dan memanggangnya di atas arang yang membara sambil berkata kepada anaknya “Hari ini mungkin kau harus makan beberapa, tiap anak sudah ada jatahnya masing-masing”. Saya nangis lagi (gembeng banget kan?).

Setelah selesai “memasak”, istri Kasongo menyusul suaminya untuk membantu memindahkan kayu dengan menggendong bayinya. Saat membantu, suami istri itu bercakap-cakap apa yang akan mereka beli jika arangnya sudah terjual. Sang istri ingin dibelikan alat pemanggang, namun Kasongo menginginkan sesuatu yang lain. Apa itu?.

Malam hari, dengan kondisi yang gelap (karena tidak ada listrik), keluarga itu berunding tentang apa yang akan mereka beli nantinya. Kasongo mengambil secarik kertas dan menggambarkan desain rumah yang ia inginkan, rumah dengan 3 kamar dan ditanami dengan beberapa pohon di sekelilingnya. Ia berpikir jika ada buah-buahan, keluarga itu bisa makan lebih layak. Benih tanaman sudah ia dapatkan, ia perlu membeli beberapa metal sheet untuk mulai membangun. Istrinya setuju.

Dini hari, Kasongo bersiap untuk berangkat ke kota. Ia di bantu istrinya untuk mengemas semua arang-arang yang telah berhasil dibuat. Jumlahnya kurang lebih ada 8-10 karung besar. Ia mengangkut semua karung itu dengan sepeda ontel tua. Saya awalnya berpikir Kasongo akan menaiki sepeda tersebut, tapi ternyata ia hanya menuntunnya, karena sudah tidak ada ruang lagi untuk dinaiki, sepedanya kelebihan muatan L.


Gambar Kasongo dengan Sepeda dan Karung-karung berisi Arangnya.

Perjalanan Kasongo sungguh berat dan melelahkan. Ia melewati jalanan gelap yang dilalui truk-truk pengangkut (sepertinya pengangkut tambang). Bahaya ditabrak kendaraan lain selalu mengintainya di malam hari. Sampai pagi pun kesulitan tidak berhenti, ia harus mendaki bukit dengan kontur jalan yang terjal. Siangnya? Di bawah terik matahari yang membakar kulit, ia berperang dengan debu tebal dan angin kencang. Begitulah, dari malam ke malam, pagi ke pagi.  Kasongo menghabiskan waktu dua hari dua malam dan menempuh jarak 50 km untuk mencapai pasar di "kota". Kesulitan tidak berhenti. Kasongo masih harus menghadapi preman kota yang menarik pungli, juga dengan para warga yang menawar arangnya untuk harga yang tidak seberapa. Satu karung arang itu hanya dihargai seharga Chatime 1 gelas saja. Untuk kesekian kalinya Gras berhasil menelanjangi sisi-sisi kemanusiaan saya dengan menyaksikan bagaimana kaum papa ini berjuang hidup, dengan segala kesulitan dan keterbatasan yang mereka miliki. Dari film ini, saya mendapatkan beberapa pelajaran berharga diantaranya:

1. Belajar untuk memiliki mimpi yang terdefinisi jelas
Kasongo, dalam film ini mendefinisikan keinginannya. Ia ingin membangun rumah. Ia kemudian merinci lagi rumah seperti apa yang ia inginkan. Dari gambaran itu, ia mendata kebutuhan apa yang harus ia siapkan. Tanpa kita sadari, dari kecil kita terbiasa diajarkan untuk memiliki mimpi yang besar. Seiring berjalannya waktu, kadang mimpi itu hanya tinggal menjadi pajangan yang tidak pernah direalisasikan. Karena kita alpa mendefinisikan: mimpi yang bagaimana? Apa yang dibutuhkan untuk membuatnya menjadi nyata?
2. Belajar bersungguh-sungguh dalam berusaha dan memiliki daya juang tinggi dalam menghadapi kesulitan hidup
Saya rasa, tidak akan ada narasi/review yang cukup untuk menggambarkan bagaimana sosok Kasongo bertahan hidup dalam film ini, kecuali Anda sendiri yang menontonnya. Lihatlah bagaimana sosok Kasongo berusaha sedemikian keras untuk bertahan hidup. Bagaimana ia memilih bertanggungjawab dengan hidup, dan keluarganya. Bagaimana ia digambarkan hampir menyerah ketika mendorong sepedanya. Namun apa keputusan akhirnya?. Ia memilih untuk bergerak. Kembali ia mendorong sepedanya. Jatuh, ia bangun lagi. Ia tidak berhenti, ia memilih untuk tetap bergerak.
3. Belajar peduli dan saling membantu
Persamaan nasib seringkali mendorong seseorang untuk peduli, bahu membahu untuk membantu dan saling mengasihi. Potret inilah yang saya tangkap dari film Makala. Beberapa kali Kasongo menerima bantuan dari teman-teman “senasib sepenanggungan”nya. Mulai dari malam hari ketika ia berhenti mencari tempat untuk singgah sebentar, hingga ketika sepeda dan dagangannya berceceran saat sebuah kendaraan besar berlalu kencang di jalanan. Ia ditolong oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
Jika seseorang demikian peduli pada orang yang bernasib sama, bagaimana dengan orang yang memiliki nasib yang sangat berlawanan? Apakah mereka juga akan peduli?. Saya suka sangat kesal ketika teman kaya saya berkomentar songong terhadap orang miskin. Misalnya: “Ya wajarlah nganggur, karena memang kompetensinya kayak gitu”, “Pekerjaan sih sebenernya banyak ya, tapi suka heran deh kenapa pilih2?”, “Bahasa inggrisnya itu jelek banget”, “Oh pantes suka sebar hoaks, gak pernah baca buku, sukanya nonton sinetron terus”, “nikah itu gak usah takut sama rejeki. Pasti rejeki dateng kok dari Allah”.
Sampai kapan kita akan berada di jurang ketidakpedulian ini?. Hidup kita mungkin enak dan terfasilitasi, bagaimana dengan orang-orang yang tidak punya akses untuk itu?
4. Belajar tentang sikap bersyukur dan berterimakasih pada Tuhan
Meskipun menjalani hari-hari yang berat. Sosok Kasongo digambarkan sebagai penganut agama yang taat. Di masa-masa sulitnya, ia selalu mengingat Tuhan. Di waktu istirahatnya, ia juga menyempatkan diri untuk menemui Tuhan lagi dan mengucapkan terima kasih. Doa yang ia ucapkan begitu sederhana, begitu murni, namun begitu mengusik hati. Di kala orang lain berteriak-teriak meminta Tuhan memberikan ini itu yang sifatnya material, ia tertunduk berdoa: mengucapkan terima kasih karena Tuhan telah merawat keluarganya, dan memohon agar Tuhan dapat memberinya kekuatan. Ia tidak meminta jalannya dimudahkan, ia meminta agar dirinya dikuatkan. Sebuah doa yang cerdas J. Bagaimana dengan kita-kita ini?. Apakah kita menemui Tuhan saat sulit saja, kemudian menghilang bersamaan dengan hilangnya kesulitan?. Apakah kita selalu mengucapkan terima kasih dan mensyukuri apa-apa yang telah Tuhan berikan?. Ah, jangan-jangan saya belum.

Dari semua ulasan dan kesan ini, saya memberi nilai 9/10 untuk film Makala. Bagi saya, film ini layak ditonton oleh siapapun, termasuk orang-orang yang mencalonkan diri di lembaga legislatif, atau bahkan calon presiden dan wakil presiden, di mana ditangannyalah kebijakan-kebijakan itu diciptakan. Apakah kebijakan itu akan berpihak pada rakyat kecil?. Entahlah.



Komentar