Langsung ke konten utama

Menikah


Saya mungkin termasuk kelompok yang sudah kebal dengan pertanyaan-pertanyaan “kapan nikah?” yang sudah sangat sering saya dengar di telinga saya. Baik menjelang lebaran, momen bertemu teman lama, bahkan dalam perbincangan sehari-hari. Semua orang seakan-akan bersepakat pada satu hal yang sama : “Kami ingin segera melihat Rosi menikah”.

Beruntung sekali berada di lingkungan teman-teman yang amat peduli pada saya. Tetapi di satu sisi mungkin mereka tidak cukup tahu dengan apa yang saya alami selama ini.

Banyak yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang “picky”, saya judes sama laki-laki, cuek, tidak peka dan sebagainya. Saking banyaknya yang mengatakan seperti itu, saya introspeksi diri juga akhirnya : apa iya?. Dan mau tidak mau, dalam beberapa hal saya memang harus mengakuinya. Namun, saya menyadari bahwa semua itu saya lakukan karena saya memiliki alasan.

Ya, saya mengenal diri saya sendiri. Meski saya terlihat sebagai orang yang ekstrovert, tetapi semua test menyatakan saya adalah introvert, terlalu asik dengan dunia sendiri. Saya cenderung tertutup dengan hal-hal personal dan pilih-pilih teman untuk bercerita, karena saya orang yang tidak mudah percaya :(. Selain introvert, saya sangat “Thinking” dan “Judging/rigid”. Perempuan yang logis dalam banyak hal, tetapi menjadi tidak logis ketika berurusan dengan perasaannya.

Ketidaklogisan saya terhadap perasaan membuat saya menjadi “pemilih”. Saya orang yang sulit mencintai laki-laki, tetapi saya sangat dalam ketika mencintai, ketika hati saya sudah memilih. Dan konsekuensi yang harus saya tanggung tidak main-main : saya terluka karena ekspektasi saya. Butuh waktu yang lama untuk mengobati diri saya sendiri.

Saya tidak pernah memiliki “hubungan khusus” dengan laki-laki, orang lebih mengenalnya dengan istilah pacaran. Bukan karena saya merasa sok suci atau menganggap hina sebuah hubungan diluar pernikahan. Tidak. Saya malu jika orang menilai saya begitu menjaga diri saya, padahal ada hal-hal busuk yang Allah tutupi dari diri saya selama ini.
Saya hanya ingin mencintai satu laki-laki dalam hidup ini.

Mungkin keinginan ini terlalu idealis, tapi itulah yang ingin saya perjuangkan. Saya ingin memilih laki-laki karena saya tahu ia adalah tujuan saya, bukan karena ia terbaik diantara pembanding lainnya. Ia bukan pilihan, ia adalah tujuan. Dan itu tidak akan saya dapatkan ketika saya begitu mudah menjalin hubungan dengan laki-laki.

Saya judes dan saya cuek dengan laki-laki. Iya itu benar. Tapi bukan berarti saya tidak bisa bersahabat dengan laki-laki. Saya bisa berteman akrab dengan orang-orang yang saya percaya menjadi sahabat saya. Yang saya bisa merasa aman untuk berteman dengannya. Yang saya rasa persahabatan kami akan memberikan manfaat kebaikan lebih besar daripada hal-hal buruk lainnya. Saya rasa, ini adalah naluri yang lumrah dimiliki oleh kebanyakan manusia.

Saya cuek dengan laki-laki yang mencoba mendekati saya melalui cara-cara yang tidak saya suka. Karena cueknya, mereka bilang saya ini sombong. Ya tidak apa-apa. Tapi saya hanya tidak ingin menyakiti seseorang yang tidak bisa saya balas perasaannya. Kalau tidak suka, mengapa saya harus menebar banyak harapan?, ini yang saya pikirkan berkali-kali.

Ah, rumit.

Tapi demikianlah adanya :(. Maaf kalau saya tidak bisa menyenangkan banyak orang. Ada yang harus saya lindungi : diri saya sendiri.



Menikah, adalah cara saya mencintai.
Tidak ada jalan paling baik bagi dua orang yang saling mencintai kecuali dengan menikah (HR. Ibnu Majah)
Saya beberapa kali memikirkan maksud dari hadist ini. Islam mengajarkan bahwa “menikah adalah jalan paling baik dari dua orang yang saling mencintai”.

Bagi kaum milennial, ajaran ini mungkin dianggap sebagai sesuatu yang konservatif. Ya, karena kebanyakan menilai pernikahan hanyalah sebagai sarana “memenuhi kebutuhan biologis” semata. Saya generasi milennial, tetapi saya sepakat pada apa yang Islam ajarkan. Karena bagi saya, menikah bukan cuma soal pemenuhan kebutuhan biologis, seks, atau hal-hal yang sifatnya material. Lebih dari itu, bagi saya menikah adalah cara saya mencintai. Dan dalam mencintai, ada keberkahan yang hadir sebagai kunci kebahagiaan diantara dua hati yang menjalaninya.

Kita mencintai seseorang karena kita melihat hal-hal baik yang ada pada diri orang tersebut. Namun, ketika orang tersebut memunculkan hal-hal buruk dari diri mereka, apakah kita akan tetap mencintainya?.

Pernikahan akan menghadirkan orang yang kita cintai dalam “wujud aslinya”, baik dan buruknya. Membuat kita tetap bertahan untuk hidup dengannya : karena kita bisa menerima bahwa ia hanyalah manusia biasa. Kita tetap mencintainya karena kita mampu melihat kebaikan dari dirinya (yang mungkin tidak bisa dilihat oleh orang lain). Ini yang tidak kita temukan ketika kita hanya menjalin “hubungan yang tidak ada tujuan jelasnya”. Orang cenderung menampilkan dirinya sebaik mungkin di hadapan sosok yang ia cintai, kadang mereka suka menggunakan topeng. Tetapi dalam pernikahan, kita akan menemukan mereka pada kondisi apa adanya.

Kita bisa mengenal dengan baik orang yang hidup satu rumah dengan kita : apa yang ia lakukan dalam kemarahannya? Bagaimana caranya menyelesaikan masalah-masalah dalam rumah? Bagaimana sikapnya ketika ia tidak memiliki apa-apa? Bagaimana ia mempertahankan prinsip-prinsip hidupnya? Bagaimana ia memperjuangkan cita-citanya? dan lain sebagainya. Meskipun pernikahan tidak selalu berisi hal-hal yang menyenangkan, pada akhirnya kita akan kembali diingatkan : apa yang membuat kita memilih hidup bersama?.

Karena kita saling mencintai, dan kita saling menerima.
Dapatkah kau rasakan betapa aku mencintaimu? Aku tidak pernah bisa mengalami begitu banyak kegembiraan, sebanyak seperti yang aku rasakan ketika denganmu. Ini sungguh benar. Tidak pernah aku mencintai dengan begitu penuh rasa kasih, dengan begitu penuh kelembutan, juga dengan begitu penuh senang hati. Dengan perasaan takjub, bersamamu, aku merasa baik-baik saja...(Maxim Gorky, dalam buku “First Love”)



Apa yang dicari dalam pernikahan?

Ada beberapa orang yang cukup skeptis ketika membicarakan pernikahan. Beberapa mereka adalah orang yang sudah menikah dan kecewa dengan pernikahannya, beberapa lainnya adalah mereka yang belum pernah menjalani pernikahan tetapi sudah membuat generalisasi di awal.

Saya pikir, semua kesan dalam pernikahan akan kembali pada pertanyaan awal : “Apa yang dicari dalam pernikahan?”.

Mow Ghat (salah satu petinggi Google) pernah mengatakan bahwa Happiness is equal to or greater than the difference between the way you see the events of your life and your expectation of how life should behave. So if life meets your expectations, you're happy. Kamu merasa bahagia, ketika kamu menemukan apa yang kamu cari/harapkan.

Ketika membaca beberapa alasan dan ulasan dari mereka yang skeptis, saya menemukan kalimat-kalimat yang senada : “tidak mendapatkan”, “tidak memperoleh”, “tidak merasakan”, “berkurang produktivitasnya”, “terkekang” dll. Semua berasal dari keinginan untuk “mendapatkan sesuatu”.

Mereka kecewa, karena mereka tidak mendapatkan. Mereka (dan saya), harus siap kecewa dengan hukum alam bahwa semakin banyak mengharapkan, semakin harus siap dengan rasa kecewa. Dan pada kenyataannya, pernikahan tidak berjalan semanis itu.

Saya terus menerus mengajari diri saya dengan pola pikir memberi. Dan ini tidak mudah. Pelajaran tentang bagaimana kita memberikan yang terbaik pada orang yang kita cintai, tanpa perlu berharap lebih ia akan melakukan hal yang sama untuk kita. Setidaknya, pola pikir seperti ini yang akan meminimalkan hadirnya rasa kecewa di tengah-tengah kita.

Fokus saja memberi yang terbaik. Bahagianya, akan menjadi bagian dari bahagia kita.

Ini yang membuat saya memutuskan bahwa saya harus menjadi orang yang bahagia dulu dengan diri saya, jadi saya tidak lagi terlalu berharap akan mendapatkan bahagia yang setimpal dari orang lain. Cinta bukan soal transaksi dimana saya bisa memberi, lalu saya akan mendapatkan hal yang sama darinya.
You can be the sunshine for another person. You can’t offer happiness until you have it for yourself. So build a home inside by accepting yourself and learning to love and heal yourself. Learn how to practice mindfulness in such a way that you can create moments of happiness and joy for your own nourishment. Then you have something to offer the other person.

Perjuangkan apa-apa yang membuatmu bahagia saat ini, sebelum kamu memutuskan untuk hidup bersamanya dan membagi ego dengannya. 

Kalau bahagiamu adalah soal mendekati cita-cita, maka perjuangkan cita-citamu dari sekarang.

Kalau bahagiamu adalah dengan menjadi bermanfaat bagi orang lain, jadilah bermanfaat dari sekarang.

Kalau bahagiamu dengan menjadi orang yang berilmu, maka banyak-banyaklah belajar dari sekarang.

Kita bisa mendapatkan semua itu dalam masa-masa menanti kita. Tanpa perlu menunggunya datang untuk memulai semua dari awal.

Saat ini, saya sedang melakukan hal-hal itu : memperjuangkan cita-cita saya. Karena saya tidak ingin terlalu berharap lebih pada orang lain, meskipun ia akan menjadi bagian dari hidup saya. Konsekuensi dari pilihan ini, beberapa orang melihat saya sebagai perempuan yang mandiri seolah tidak butuh laki-laki hehe. Bahkan ada beberapa laki-laki yang terang-terangan mengatakan minder dengan pencapaian-pencapaian saya. Saya bingung : apa yang perlu diminderkan?.

Saya seperti ini, karena mengingat-ingat pesan ibu :
Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat

Akal kita mungkin bisa melogika, tetapi hati kita akan tahu kemana ia melabuhkan pilihannya. Ia harus siap dengan apapun yang ia pilih. Meski ada banyak ketidaksempurnaan dalam pilihannya.

Kalau merasa pemahaman agamanya belum baik, segeralah belajar, tanpa perlu bergantung pada pemahaman agama seseorang yang ditakdirkan menjadi jodoh kita. Keshalehan seseorang tidak mutlak ditentukan dari berapa banyak juz yang dia hafal atau dari penampilan semata. Tetapi juga dari bagaimana ia memaknai agama sebagai jalan hidupnya. Ia melakukan sesuatu karena tahu alasannya...dan ia memilih tidak melakukan sesuatu karena tahu tuntunannya.

Kalau merasa belum matang secara emosional, segeralah menyadari kekurangan diri sendiri, belajar menerima dan melatih mengendalikan emosi. Tanpa perlu berharap akan dipasangkan dengan seorang penyabar. 

Kalau merasa belum siap secara finansial, berusahalah untuk membekali diri dengan keterampilan-keterampilan hidup yang bisa kita andalkan kelak. Jangan menunggu mapan, baru menikah. Tapi bekali diri untuk bisa tumbuh dan berkembang bersama. Cinta kita akan diuji ketika ia tidak bisa memberikan apa-apa untuk kita. Jangan sampai perasaan kita dikendalikan dengan hal-hal yang bersifat material semata. Terlalu kerdil.
Belajarlah untuk selesai dengan diri sendiri

Jika penulis akan diuji dengan tulisannya, maka menuliskan hal ini adalah cara saya mengingatkan diri sendiri.

Pun ketika saya sedang meletakkan harapan pada seseorang, saya tetap harus melihat apakah dia akan memperjuangkan saya untuk hidup dengannya?. Karena saya ingin menikah...bukan ingin bermain-main dan menyakiti perasaan saya atau perasaan orang lain.

Karena sampai detik ini saya masih percaya, bahwa Allah akan mempersatukan dua orang yang saling mencintai dan saling memperjuangkan.

Komentar