Langsung ke konten utama

Dari Atticus Finch dan Nabi Muhammad

“You never understand a person untill you consider things from his point of view...Untill you climb inside of his skin and walk around it”

-Atticus Finch, dalam buku “To Kill a Mockingbird”

Perkataan Atticus Finch tersebut adalah salah satu dari sekian banyak perkaatan inspiratif yang saya temukan di buku “To Kill a Mockingbird”. Saya membaca buku ini kira-kira tahun 2014 yang lalu, tetapi ternyata baru sempat menonton filmnya dan membuat reviewnya saat ini. Bedanya, tahun 2014 lalu saya sedang heboh-hebohnya mengerjakan skripsi, saat ini sedang heboh-hebohnya mengerjakan revisian tesis..hihi.

Saya menyukai keduanya, baik buku ataupun filmnya. Ceritanya di kemas dengan cara sederhana, tetapi sarat makna. Kelak, mungkin buku dan film ini akan masuk dalam list karya yang harus disaksikan oleh anak-anak saya kelak, selain : Mona Lisa Smile, Freedom Writers, The Help, Mulan, Moana, Kungfu Panda, Hidden Figures, The Diary of Anne Frank dll (insyaAllah lain kali saya akan menulis review dan alasan mengapa saya ingin anak-anak saya menonton film-film ini). *anaknya siapa? ibu sama ayahnya aja belum dipertemukan!. Kemudian hening*

Saya tertarik membuat ulasan tentang cerita yang diangkat karena –qadarullah- sedang sesuai dengan kondisi yang terjadi di sekitar saya belakangan ini. Tidak di medsos, tidak di kehidupan nyata. Ada dua kata besar yang mendominasi : JUDGEMENT(penghakiman) dan PREDUJICE (prasangka). Dua kata tersebut seringkali membuat yang ramah menjadi dingin, yang dekat menjadi berjauhan, yang saling mengasihi menjadi saling membenci. *Sigh*

Pernah tidak bertemu dengan orang-orang yang “kita anggap aneh” dalam hidup ini?. Kita menganggapnya aneh karena ia tidak sama dengan kita, sifatnya, seleranya, ketidaksukaannya, cara berpikirnya, budaya hidupnya, cara dia mendefinisikan bahagia dan lain-lain. Dan karena dia terlihat aneh, kita jarang berusaha lebih untuk bisa dekat dengannya. Kondisi ini mungkin sudah amat sering kita temui karena konon sudah menjadi fitrahnya jika “orang akan lebih nyaman bergaul dengan mereka yang memiliki banyak persamaan”. Jadi jangan heran kalau kita akan menemukan banyak sekali komunitas-komunitas yang isinya orang-orang “sejenis” : komunitas berisi orang yang “sevisi” dalam beragama (misalnya satu kelompok ngaji, kelompok satu gereja), komunitas berisi orang yang punya hobi yang sama (komunitas baca, volunteering, travelling dll), komunitas yang berasal dari region yang sama (misal komunitas anak Solo, anak Surabaya, anak Jakarta), dan jangan heran ada komunitas yang berdasarkan ras juga ( i challenge you against my statement hehe...coba liat ada tidak yang kampusnya ada anak-anak sipit yang punya “geng” belajar sendiri? Coba liat ada tidak komunitas anak minang, anak jawa, anak arab dll). Ada. Eh saya lupa kalau ada juga komunitas yang dibentuk karena “punya musuh/lawan yang sama”, siapa saja mereka?. Parpol! Hehe. Ada yang lain juga : Lambe Turah! Wkwkwk.

Salah tidak kalau orang-orang yang sama ini membuat komunitas?.
Menurut saya tidak salah. Karena saya selalu berpikir bahwa komunitas terbentuk atas itikad baik. Kalau dalam bahasa filantropi mungkin mengarah kepada : pemberian manfaat secara adil pada masing-masing anggotanya.

Tetapi saya mulai risih ketika terbentuknya “kerumunan” itu menimbulkan berbagai gejala sosial yang negatif di masyarakat : Merasa paling baik/benar, kemudian berteriak kalau yang lain lebih rendah atau salah.

Sebelum saya kena ceramah, saya mau declare bahwa bagi saya “Merasa paling benar, apalagi dalam hal keyakinan atau value hidup itu penting”. Bahkan masing-masing kita harus memilikiya. Tapi yang menyebalkan adalah ketika kita berteriak-teriak kalau “yang kita anut itu paling benar” kemudian dengan nada menghina dan merendahkan kita mengatakan kalau yang dianut orang lain itu sifatnya “inferior” dan salah di mata kita. Hey, bagaimana bisa kita memaksakan sesuatu kepada orang lain yang standar kebenarannya berbeda dengan kita?. Tujuannya apa? Supaya semua orang menjadi sama seperti kita?. Kalau semua orang harus sama, mengapa Allah ciptakan perbedaan diantara kita?

Kembali tentang novel To kill a mockingbird. Novel ini ditulis oleh Harper Lee di tahun 1960an dengan mengambil setting tahun 1932, di sebuah tempat bernama Maycomb. Tokoh sentral yang diceritakan ada 3 dan mereka adalah satu keluarga : Atticus Finch (ayah), Jem (anak laki-laki), dan Scout (anak perempuan, sebagai tokoh protagonis). Ada dua tokoh pendukung yang perjalanan hidupnya sangat berhubungan dengan tokoh utama : Arthur ‘Boo’ radley dan Tom Robinson.

Pertama adalah tentang Arthur ‘Boo’ radley. Ia adalah anak dari keluarga Radley, tetangga keluarga Finch yang dikenal paling misterius di komplek tempat tinggal mereka. Sudah sejak 2 tahun, Boo tidak muncul lagi dan bergaul dengan lingkungan sekitar. Ada banyak spekulasi tentang kemisteriusan keluarga ini : Boo yang tahap sakit jiwanya semakin parah. Boo yang disiksa di rumahnya, Keluarga yang akan menembak siapapun yang mencoba mengusik rumah mereka dll. Karena dianggap “aneh” atau tidak wajar inilah, maka Scout dan Jem yang masih kanak-kanak menjadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. *Melalui dua anak kecil ini kita sebenarnya disindir : don’t hate what you don’t understand. Explore before judge people*

Anak-anak ini awalnya memiliki prasangka buruk terhadap keluarga Radley. Tapi karena tidak puas dengan apa yang dikatakan orang-orang, mereka melakukan eksplorasi sendiri : mulai dengan mengintip dari jauh, mengendap-endap di kebun, hingga mencoba masuk di rumah keluarga Radley. Misi mereka gagal. Mereka tidak sekalipun berhasil masuk ke dalam rumah, boro-boro bertemu dengan sosok “Boo” di dalamnya. Meski misi mereka gagal, tetapi usaha tidak pernah menghianati hasil. Kelak, mereka akan membuktikan nasehat ayahnya. Kelak, dua anak ini anak berterimakasih kepada keluarga Radley yang telah menyelamatkan hidup mereka berdua (haha, maafkan, saya enggak mau terlalu detail dalam ber-spoiler, silahkan baca buku/nonton filmnya sendiri ya). Pada titik tersebut mereka makin menyadari :
Kita memang tidak akan pernah benar-benar memahami seseorang sampai kita melihat sesuatu dari sudut pandangnya....sampai kita bisa menyelami isi pikirannya dan berjalan-jalan disana”

Sudah melihat hubungan antara pelajaran ini dengan kondisi yang saya ceritakan di awal?. Yap. Perbedaan itu adalah suatu keniscayaan. Kita akan sering dipertemukan dengan orang-orang “aneh di sekitar kita”. Sampai kita menjadi terbiasa dengan yang namanya perbedaan itu sendiri. Kita akan menjadi mengerti mengapa kita berbeda. Karena kita memiliki sudut pandang yang berbeda. Dan semakin kita memahami hal ini, kita tidak akan semudah itu dimanfaatkan sebagai “proxy” adu domba. Percayalah, kita tidak akan pernah bisa menyukai seseorang/sesuatu sepenuhnya atau membenci seseorang/sesuatu sepenuhnya.

Saya membenci Goenawan Mohamad ketika dia mulai “kabur” membicarakan politik, tapi saya menyukai cara berpikirnya yang kritis atau tulisan-tulisannya yang persuasif.

Saya menyukai kepribadian teman saya yang selalu bersemangat untuk memperbaiki diri, tetapi saya tidak suka ketika dia menjelek-jelekkan atau mengunderestimate teman lain yang “baru belajar”.

Saya menyukai semangat dan pengorbanan habib Rizieq dalam usaha nahi munkarnya, tetapi saya tidak suka dengan sikap beliau yang kasar dan kadang-kadang menjudge orang-orang yang tidak sepemahaman dengan beliau.

Saya suka selera humornya Mojok.co, tapi saya gerah dengan keberpihakan mereka pada rokok.

Ya, lagi-lagi mereka semua adalah manusia. Justru dengan kelemahan-kelemahannya itulah saya menyadari bahwa mereka adalah manusia yang pantas diperlakukan dengan manusiawi. Mereka manusia yang akan selalu memiki kekurangan, sehingga tidak perlu terlalu kita kultuskan melebihi Tuhan. Mereka manusia independen yang bebas memilih jalan hidup dan mengungkapkan pikiran-pikirannya.

Tokoh kedua yang menarik untuk dibahas adalah Tom Robinson. Tom ini adalah seorang warga negro yang terkena kasus dugaan pemerkosaan terhadap perempuan kulit putih bernama Mayella. Kalau mau ditelisik lagi, tahun 1932an memang tahun-tahun sensitif dan tahun sulit bagi kehidupan warga kulit hitam di Amerika. Diskriminasinya sangat luar biasa. Orang-orang kulit hitam selalu dipandang sebelah mata dan selalu didiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, dalam pendidikan, layanan kesehatan, maupun dalam proses hukum. Dalam buku ini diceritakan bahwa para warga kulit putih memiliki niat busuk untuk menjebloskan Tom ke penjara, tidak main-main, hukumannya adalah digantung tanpa diadili. Namun rencana ini tidak berjalan semudah yang diharapkan. Atticus dipilih sebagai pengacara yang menangani kasus Tom ini. Saya mengidolakan sosok Atticus. Ia adalah seorang ayah yang sangat bijak dan pengacara yang memiliki integritas terhadap profesinya. Baginya, setiap orang memiliki hak yang sama dalam hukum. Meskipun Tom seorang negro, tetapi ia berhak melakukan pembelaan dan menjalani proses hukum dengan adil.

Kalau teman-teman sempat nonton filmnya, cobalah tonton (haha mencoba promosi). Dalam sesi persidangan ini, kebetulan anak2 Atticus (Scout dan Jem) melihat bagaimana ayahnya memperjuangkan hak orang yang tertindas. Melting lah ya pokoknya saya melihat bagaimana cara Atticus memberikan teladan di persidangan. Singkat kata, meskipun di persidangan ini sudah amat kentara mana yang benar dan mana yang mengada-ada, tapi tetap saja para juri (jaksa penilainya) memutuskan bahwa Tom bersalah. Hakim pun terpaksa membubarkan tim juri karena dianggap tidak masuk akal. Saya jadi ingat perbincangan Atticus dan anak-anaknya di meja makan.

Saat itu si sulung (Jem) mencoba mengarahkan obrolan agar sang ayah mengijinkan ia memiliki senjata sebagaimana anak-anak lain di usianya. Ia bertanya seperti ini :

“Atticus, pada usia berapa kamu memiliki senjata?”
“13 atau 14 tahun. Aku ingat saat pertama kali ayahku memberiku senjata. Ia berpesan bahwa aku tidak boleh membidikkannya pada sesuatupun di dalam rumah. Makanya dia lebih suka melihatku menembak kaleng-kaleng kosong di belakang rumah. Tetapi ayah mengatakan bahwa cepat atau lambat akan ada godaan untuk menembaki burung-burung. Kalau aku mau, mungkin aku bisa menembaki semua burung-burung itu. Tapi kemudian aku berpikir :
Aku akan berdosa jika membunuh burung itu. Burung mockingbird (sejenis burung murai) itu tidak melakukan apa-apa kecuali membuat musik yang dapat kita nikmati. Mereka tidak memakan apapun di kebun, tidak bersarang di pohon jagung. Mereka tidak melakukan apapun. Mereka hanya berkicau untuk kita
Bagi saya, pesan itu dalam sekali. Mungkin itulah yang mendasari Atticus membela Tom Robinson. Tom seperti burung Mockingbird. Ia tidak merugikan atau mengambil keuntungan apapun dari orang kulit putih. Tetapi hanya karena ia berbeda, ia dianggap sebagai sebuah ancaman yang harus dihilangkan jauh-jauh dengan “ditembak”. Padahal keberadaan Tom sejatinya bisa membuat menghadirkan sebuah alunan musik yang bisa kita nikmati. Ya, bayangkan kalau musik hanya terdiri dari satu jenis nada, akan seperti apakah dia?. Tidakkah kalian curiga bahwa mungkin Allah ciptakan perbedaan sebagai sebuah nada yang akan berdetak berirama?

Atticus memberikan contoh bagaimana kita harus menghormati orang yang berbeda dengan kita karena “bedanya” mereka tidak mengganggu atau mengancam hidup kita.

Dalam Islam, nabi Muhammad, memberikan contoh yang lebih indah untuk menghadapi orang-orang “berbeda” yang juga mengganggu dan mengancam hidup beliau :

Suatu hari Aisyah bertanya kepada Rasulullah : "Ya Rasulullah...pernahkah kau alami hari yang lebih berat daripada perang di Uhud?". Maka lelaki itu, Muhammad SAW bercerita : Aku mendatangi para pemimpin Thaif ((di Thaif ini beliau mendapat hinaan, cacian, penolakan dan sikap tidak menyenangkan dr semua org yang di datangi)). Setelah 3 hari aku menyusur tiap sudut Thaif, mengetuk berbagai pintu dan menawarkan Islam pada siapapun yang kutemui, mereka pun beramai-ramai mendustakan, mengusir dan menyakitiku.

Aku pun pergi dengan kegundahan hati hingga tiba di Qarn Ats-Tsa'lib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah jibril memanggilku "Sesungguhnya Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka dia mengutus malaikat penjaga gunung untuk kau perintahkan sesukamu. Ya Rasulullah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah menyakitimu".

Rasulullah menjawab "Tidak". "Sungguh, aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan pembawa adzab. Aku ingin jikapun mereka ingkar, semoga keturunannya kelak yang akan beriman dan mengesakan Allah” (Salim A Fillah, dalam buku “Lapis-lapis Keberkahan)

Ternyata, yang paling berat bagi Rasulullah itu bukan perang Uhud dimana saat itu 3 besi menancap dipelipisnya, lututnya terluka parah, pasukan bercerai berai. Bukan juga saat beliau dilempari batu, lehernya dijerat saat ruku', punggungnya dituangi kotoran hewan. Caci, fitnah, celaan, tuduhan gila, penyihir, bertahun2 hidup fakir dalam pemboikotan.

Bukan itu...

Yang berat bagi kekasih Allah itu adalah : 
Kala beliau memiliki kekuasaan penuh untuk membalas orang-orang yang menyianyakan dirinya, dalam gemuruh sakit lahir dan bathin yang luar biasa beliau mencoba melawan hawa nafsunya. Beliau tidak mengambil kesempatan itu, justru mendoakan orang-orang yang telah menyakitinya" 





Jadi, sudah cukupkah kita belajar dari Atticus dan nabi Muhammad dalam menghadapi perbedaan?  

Komentar