Langsung ke konten utama

“MENGEMBAN AMANAH SETENGAH DIEN : SUDAH SIAPKAH KITA?”

Ahad, 20 Juni 2015

Halo teman-teman, bertemu lagi dengan saya yang akhir-akhir ini mulai jarang menulis. Hiks, maklum lagi banyak excuse. Sok sibuk, padahal aslinya malas.

Nah, kali ini saya ingin berbagi sedikit ilmu yang saya dapatkan ketika saya mengikuti kajian pranikah di MUI. Terserah deh kalau ada yang bilang : ih Rosi galau banget, ikut kajian pra nikah mulu. Saya akan dengan sangat legowo mengatakan : “Biarin, daripada saya berdiskusi sama kamu, kegalauan saya malah semakin menjadi. Cari ilmunya harus sekarang, eksekusinya bisa nanti-nanti kan? Wkwkwk”.

Saya beruntung karena selalu menemukan hal-hal baru antar kajian yang saya ikuti. Jadi makin percaya sebuah nasihat : Jangan pernah berhenti untuk belajar :)
NB : Maaf ini saya datang kajiannya telat 45 menit, jadi hanya bisa mencatat dari segmen ke-2.

Enjoy my story ya….

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagaimana menilai jodoh yang sesuai untuk kita?

1.    Cari yang banyak kesamaannya dengan kita
Dulu sebelum ikut kajian, saya termasuk orang yang beranggapan bahwa saya harus mencari seseorang yang memiliki karakter sangat berbeda dengan saya. Karena saya orang yang ‘agak serius’, saya ingin mendapatkan jodoh yang punya selera humor tinggi. Yaa yang lucu dan bisa membuat saya tertawa lah pokoknya. Nah, anggapan saya ini secara tidak langsung ditentang habis-habisan oleh pembicara. Beliau mengatakan bahwa perbedaan yang ekstrem mungkin akan memberikan sensasi perasaan yang lebih kuat, namun sifatnya temporer. Yang menimbulkan kenyamanan lebih lama adalah banyaknya kesamaan.

Saya kembali menengok ke dalam zona tumbuh saya selama ini. Ah benar juga, bergaul dengan orang yang punya perbedaan ekstrem itu menyenangkan. Tapi untuk hal-hal tertentu yang membutuhkan koordinasi, agak sulit menyamakan langkah, lama berdebat dan gak jalan-jalan XD. Apalagi ini ngomongin rumah tangga.Banyak riset psikologi yang menyatakan bahwa banyaknya kasus perceraian adalah karena begitu banyak perbedaan yang tidak ternegosiasikan oleh kedua belah pihak. Jadi hal ini perlu dipertimbangkan sejak awal sebelum menentukan pilihan.

Nah sebenernya dogma ini menurut saya gak mutlak harus kita ikuti sih. Tergantung kepribadian kita : apakah kita tergolong orang yang menyukai challenge atau lebih memilih jalan aman yang sudah teruji. Karena bagi saya, sebenarnya peran wanita sebagai istri itu secara sekuler (halah), bisa dibagi menjadi dua : istri yang membesarkan suami, atau istri yang dibesarkan suami. Istri yang membesarkan suami ya contohnya kayak Fathimah, Siti Hajar, Istri nabi Ayub dsb. Mereka tumbuh dalam challenge dan ujian bertubi-tubi, tapi mereka tough dan mampu menyokong suaminya untuk tumbuh menjadi orang yang namanya selalu di kenang oleh sejarah. Bagi yang merasa mampu mengemban misi ini, mungkin bisa lho nyari yang punya banyak perbedaan. Siapa tahu memang kitalah yang Allah takdirkan untuk membesarkan orang lain.

Kalau istri yang dibesarkan suami, menurut saya contohnya seperti Aisyah. Kebayang kan bagaimana Rasulullah dengan sabarnya membimbing Aisyah yang dalam shirah digambarkan sebagai istri yang paling dicintai dengan sikap manjanya. Dalam didikan rasulullah, Aisyah tumbuh sebagai wanita yang cerdas di berbagai bidang, dan pendapatnya digunakan oleh berbagai kalangan. Hmmm…bagi kita yang merasa memiliki karakteristik seperti ini, menurut saya gak masalah juga sih. Silahkan cari pasangan yang lebih “matang” dan visioner. Sebaiknya jangan coba-coba nyari orang yang karakternya amat sangat berbeda dengan kita, bisa makan hati setiap hari karena tidak ada yang mau mengalah hehe.

Membesarkan atau dibesarkan itu pilihan. Tidak ada yang salah ketika menjalankan peran tersebut. Bukankah Allah memilih kita karena Dia sudah terlebih dahulu menakar kemampuan kita? :)

Ya kalau tidak mau sesekuler itu pemisahannya, ayah saya punya solusinya : tidak apa-apa cari yang karakternya sangat berbeda, tapi pastikan bahwa tujuan akhirnya sama. Kalau saya parafrasekan dengan analogi sederhana : seseorang yang berangkat dari halte yang sama, belum tentu punya tujuan akhir yang sama kan?. Misal dua orang sama-sama berangkat dari halte A. Bisa saja ada yang satunya turun di B dan satunya lagi memilih berhenti di C?. Sebaliknya bisa jadi ada dua orang yang berangkat dari halte yang berbeda, tetapi punya tujuan yang sama. Berangkatnya yang satu dari halte A, yang satu dari halte B. Tapi mereka sama-sama menuju C. Bukankah lebih baik mencari yang tujuan sama meskipun memulai dari start yang berbeda?. Bisaa kan belajar bersama selama menikmati perjalanan menuju tujuan akhirnya?
*semoga enggak njelimet

Jadi kesimpulannya : saya setuju bahwa supaya aman, maka carilah pasangan yang memiliki banyak kesamaan. Tapi saya juga tidak menyalahkan mereka yang memilih pasangan dengan berbagai perbedaan yang ada. Toh semuanya punya kelebihan, kekurangan dan konsekuensi masing-masing yang sudah tertakar.

2.    Lihat kemampuan problem solvingnya
Nah-nah, ini yang menurut saya menarik. Ibu Sitaresmi mengatakan bahwa : sebanyak apapun kesamaan yang dimiliki, konflik dalam rumah tangga itu pasti terjadi. Konflik itu bukan untuk dihindari, tapi untuk DISELESAIKAN.

Untuk menyelesaikan konflik, seorang suami dan istri harus bertindak sebagai sebuah tim.

Teringat sebuah pertanyaan teman saya yang cukup menggelitik di tengah-tengah kajian : “Ci,lo kan gak pacaran. Gimana caranya lo menilai kemampuan problem solving seseorang?”.

Saya jawab saja pertanyaan dia dengan jawaban yang ngasal : “Yaudah, kan gue sering ikut organisasi dan aktif di kegiatan. Gue bisa memetakan bagaimana type-type laki-laki dalam menghadapi konflik wkwkwk” *padahal aslinya saya cuma bercanda, eh sama teman malah dianggap serius (-_-)*

Bagi saya, penting sekali untuk mengetahui kemampuan problem solving (calon) pasangan hidup sebelum kita benar-benar menentukan pilihan. Hal ini dilakukan supaya kita bisa menyesuaikannya dengan karakter kita.

Ada laki-laki yang ketika ada masalah dia tenang, memilih untuk mencari ketenangan dan menyendiri sampai ia bisa menyelesaikan masalah tersebut (yang kayak begini agak serem sih, karena kita di posisi wanita kayak gak dianggep dan pasti bakal banyak spekulasi karena gak dikasitau apa-apa tiba-tiba masalahnya selesai gitu aja), ada juga yang kalau ada masalah dia panikan dan nyari kambing hitam (kalau yang kayak gini sebaiknya perlu disesuaikan sama karakter kita : apakah kita orangnya mau mendengar lebih, mau mengalah, legowo dsb. Soalnya kalau gak sabar, kitanya malah ikut emosi. Dan pyaaaar..pecahlah piring gelas di rumah), ada laki-laki yang sifatnya tenang, cool, dan kooperatif, yang kalau ada masalah dia langsung berdiri di lini depan dan mengatakan “Okey, it is my fault. And I wanna take my responsibility for”. Setelah doi ngaku itu salahnya, doi bakal ngajak kita cari solusinya bareng-bareng (Eh ini kok kayaknya saya ngode banget ya kalau saya nyari yang kayak gini wkwkwk). Ada juga lho laki-laki supercuek yang bahkan dia gak ngerasa “sedang ada masalah” di sekitarnya. Karena cueknya, dia bahkan gak tau masalah itu sudah bisa teratasi orang lain tanpa perannya sedikitpun. Nah, coba deh amati lagi orang-orang yang pernah bekerja dengan kita. Banyak lho yang kayak gini, saudara-saudara….

Di luar respon dalam menghadapi masalah itu, perlu juga melihat “the way he solved it”. Ada yang typenya “lakukan apa saja yang penting masalah selesai, gak peduli itu caranya baik apa buruk, merugikan orang lain apa tidak”, ada yang typenya menunda-nunda, ada yang typenya sigap dan taktis, berpikirnya runut, gak fokus sama sebab, tapi fokus dengan solusi. Ya lagi-lagi harus disesuaikan sama kondisi kita saat ini.

Kesimpulan : Overall, saya setuju bahwa kemampuan problem solving harus dipertimbangkan baik-baik sebelum memilih, Tapi perlu diingat bahwa kita harus menghargai yang namanya “proses belajar”. Yaa mungkin doi sekarang kemampuan problem solvingnya masih cetek, tapi kita melihat adanya potensi besar dalam dirinya untuk berkembang ya kenapa tidak gitu…

3.    Lihat kemampuan berkomunikasi
Kembali, ibu Sitaresmi mengemukakan aspek yang tidak kalah penting adalah aspek komunikasi. Orang yang sulit diajak komunikasi akan sulit untuk diajak diskusi sehingga sulit untuk diajak menyelesaikan masalah bersama-sama.

Kalau dilihat-lihat, kemampuan komunikasi ini gak cukup hanya dilihat dari “the way he speaks” sih. Karena sejauh yang saya tahu, di tengah-tengah saya ada banyak sekali orang-orang jenius yang tidak bisa mengkomunikasikan gagasannya dengan baik. Di belahan bumi lain, ada orang-orang yang *maaf, kurang banyak membaca* tapi ngomongnya vocal banget seolah-olah dia tahu semua hal. Nah, bahaya juga kan kalau speak loud but doesn’t give meaning?.

Cara berkomunikasi yang saya tangkap dari ulasan ibu sitaresmi lebih kepada kedewasaan dalam mendengar dan mengemukakan keinginan/pendapat. Misal ada masalah, maka pasangan yang baik akan meluangkan waktu untuk “listen” not only “hear”. Kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik sangat berkorelasi dengan bagaimana ia menghargai pendapat orang lain. Meskipun mau mendengarkan pendapat orang lain, sebaiknya dia juga asertif. Bisa menyampaikan keinginannya/pendapatnya/ketidaksetujuannya dengan baik sehingga bisa ditarik sebuah solusi yang bisa menjembatani kepentingan masing-masing (halah bahasanya berat banget). Meskipun agak mustahil menghasilkan keputusan yang menyenangkan semua pihak, tapi dengan komunikasi yang baik keputusan itu dapat diterima dengan lapang dada meski butuh proses.

Yuk berlatih menjadi pendengar yang baik dan orang yang asertif :)


4.    Lihat apakah bersamanya kamu punya kesempatan untuk menjadi diri sendiri
Pernikahan akan membuat dua belak pihak menurunkan ego masing-masing untuk menciptakan yang namanya keseimbangan dan kestabilan. Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya bahwa agar mencapai susunan yang stabil, dua unsur kimia bisa membuat ikatan kovalen dimana masing-masing pihak saling memberikan electron dan menggunakan electron itu bersama-sama. Suami dan istri juga harus seperti itu, harus mendukung terjadinya keseimbangan. Jika tidak, maka konflik akan terus-terusan terjadi.

Nah, berkaitan dengan penurunan ego. Kadang-kadang ada satu pihak yang menjadi begitu terkekang karena ia harus menjadi orang lain demi menyenangkan pasangannya. Misalkan dengan mengalah untuk menjadi ibu rumah tangga saja, padahal sebelum menikah ia sangat ngotot pengen kuliah setinggi-tingginya. Demi suami katanya…

Saya sangat angkat topi dengan wanita-wanita yang seperti itu. Pengorbanan mereka begitu luar biasa bukan?

Tapi sebentar. Menurut ibu Sitaresmi, pasangan yang tepat tidak akan menuntut kita untuk berubah mengikuti kemauan dia yang dapat membatasi kita untuk berkembang. Laki-laki yang baik akan selalu memberikan kesempatan pasangannya untuk mengupgrade kualitas dirinya. Ia akan mendukung tanpa merasa tersaingi jika istrinya berhasil mengaktualisasikan dirinya. Inilah yang dinamakan laki-laki percaya diri.

Bukankah pernikahan itu sebuah kerjasama untuk saling mendukung dan menguatkan? Bukan ajang bersaing yang berusaha untuk melemahkan satu pihak agar bisa merasai sebuah “kemenangan yang semu” bukan?

Laki-laki yang baik, kata beliau lagi, akan mendukung istrinya kuliah lagi ketika istrinya berkesempatan mendapatkan beasiswa (karena ia tahu istrinya sanggup membagi waktu), laki-laki yang baik akan mendukung istrinya berbisnis ketika melihat istrinya punya passion dan capability untuk mengelolanya…dsb.

Silahkan dipikir-pikir lagi ya :)

5.    Cari yang dengannya kalian bisa bertumbuh bersama
Mengutip sebuah potongan quotes dari Kahlil Gibran :
“I love you not only for who you are but for who I am when I’m with you”.

Bagi saya, ini penting juga. Karena sesuai tujuan pernikahan adalah menggenapkan dien, maka pernikahan haruslah menghasilkan sebuah peningkatan kualitas dari masing-masing pelakunya. Kita mencintai orang lain dengan tidak hanya melihat “siapa dia”, tapi perlu dipertimbangkan juga “ketika aku bersama dia, kebaikan-kebaikan apa yang telah aku ciptakan”, atau “ketika bersama dia, bisakah aku melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi?”. Yaa kurang lebih seperti itu..cari yang dengannya kita menjadi terdorong untuk terus mengupgrade kualitas diri.

6.    Cari yang dengannya kamu memiliki “gairah” (keinginan untuk bertemu dan melakukan aktivitas bersama)
Point ini disampaikan ibu Sitaresmi dengan sangat apik. Ibu Sitaresmi tidak melulu membahas soal fisik –yang konon katanya sangat penting bagi laki-laki-. Tetapi lebih dari itu semua, beliau berpesan bahwa kita harus mencari yang benar-benar membuat kita memiliki keinginan untuk bertemu saat berpisah lama, dan memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas-aktivitas bersama. Fisik adalah hal yang terlihat dari luar, dan hal ini bisa kita akali dengan merawat diri agar tampil bersih dan menyenangkan. Toh sekarang salon banyak..

Tapi yang jadi masalah kalau fisik sudah oke, tapi saat berjumpa jadi garing. Gak ada bedanya saat melakukan aktivitas secara individual.

Penyebabnya bisa dari penerimaan dan respon kita yang kurang menyenangkan. Nah nah, coba deh tengok ke diri sendiri : kita cenderung rindu ingin bertemu orang karena apa?. Cukup dengan kecantikan/ketampanannya kah?. Atau karena nasihat dan perkataannya yang menenangkan kah?. Atau karena semangatnya yang berapi-api kah?. Atau karena selera humornya yang bikin kangen kah? Dsb….

Bu Sitaresmi juga menyarankan kami –para peserta- untuk melihat-lihat disekeliling kita. Mana yang kiranya membuat kita merasa nyaman. Mana yang ketika dia bicara, kita cenderung mengiyakan. Mana yang ketika dia berpendapat, kita cenderung mengikuti. Karena menurut beliau, laki-laki itu adalah pemimpin yang harus ditaati dan diikuti, maka carilah yang kamu mau mengikutinya J

7.    Cari yang diridhai orang tua
Bu Sitaresmi mengatakan bahwa sebuah pernikahan akan terasa lebih berkah ketika orang tua ridha dengan pernikahan tersebut. Maka dari itu, sebelum menentukan pilihan, ada baiknya kita sebagai anak meminta pendapat orang tua. Carilah pasangan yang tidak hanya mencintai kita, tetapi juga mencintai orang tua kita.

Sebagai seorang istri, kita harus menyadari bahwa surga tertinggi kita adalah ridha suami. Tetapi kita harus juga menyadari bahwa surga tertingginya suami ada di kaki ibundanya. Oleh karena itu harus benar-benar mendukung suami untuk memberikan bakti terbaiknya kepada ibundanya.

Kita juga harus memiliki kemampuan untuk menyakinkan orang tua atas pilihan kita. Bagaimanapun juga, calon kita akan berusaha meyakinkan orang tua kita, tapi apa salahnya kita mengakselerasi langkahnya untuk membantu meyakinkan?. Karena pada dasarnya, cita-cita tertinggi orang tua adalah melihat anaknya menjadi anak yang bahagia J

Nah, sekian dulu ya teman-teman sedikit pengetahuan yang saya dapatkan. Mohon maaf jika banyak dibumbui dengan subjektivitas pemikiran saya. Teringat sebuah quote yang membutuhkan keimanan tinggi untuk mencernanya :

“Tidak perlu kenal bertahun-tahun. Orang yang sudah mencintai Allah, maka akan dengan mudah ia mencintai orang yang juga mencintai Allah.”

Untuk kita yang masih mencari, mari kita jaga agar proses pencarian itu tetap berjalan dengan cara yang baik sehingga Allah benar-benar ridha memberikan kita yang terbaik, yang mencintai kita karena cintaNya pada Allah. Semangaaat mengupgrade kualitas diri untuk menciptakan peradaban yang lebih baik yaaa…

Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan :)


Disclaimer :
  • Konten tulisan adalah hasil pengembangan materi seminar  “MENGEMBAN AMANAH SETENGAH DIEN : SUDAH SIAPKAH KITA” yang disampaikan oleh Ibu Sitaresmi Soekanto
  • Penulis statusnya masih single (belum teruji), boleh percaya boleh tidak pada apa yang ditulisnya.

Komentar