Tulisan berikut adalah tulisan Pak Tatang
yang saya salin sebagaimana aslinya, tanpa membetulkan kesalahan-kesalahan
tulis yang mungkin ada di dalamnya.
Selamat membaca.
===================
Rekan-rekan
di BKK-PII,
Terlampir
adalah tulisan saya yang berjudul "Subsidi BBM : Memperlancar atau merusak
pembangunan bangsa Indonesia?".
Minggu
sore tanggal 26 Mei lalu, tulisan itu saya kirim via email ke Redaktur Opini
Harian Kompas dengan permohonan agar dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam
Rubrik Opini harian tersebut. Karena tak ada berita, tetapi juga nggak dimuat,
hari Minggu tg 2 Juni saya mengirim email lagi kepada Redaktur Opini,
menanyakan apakah tulisan tersebut telah diterima dan apakah telah dipertimbangkan
untuk bisa/tidak-bisa dimuat dalam Rubrik Opini.
Dua
hari kemudian, Selasa tg 4 Juni, saya menerima jawaban bahwa tulisan tersebut
tak dapat dimuat dengan pertimbangan "topik yang sama telah ada yang
membahas sebelumnya" (walaupun saya yakin betul bahwa belum ada yang
isinya seperti tulisan saya tersebut). Saya balas email dengan menyatakan bahwa
saya cukup lapang, karena dengan demikian tulisan itu bisa saya kirim ke koran
lain.
Hari
Rabu pagi tanggal 5 Juni, tulisan tersebut saya kirim ke Redaktur Pendapat
Koran Tempo (yang menurut beberapa teman biasanya mau memuat tulisan yang
bernada 'keras') untuk dipertimmbangkan bisa-tidaknya dimuat dalam Rubrik
Pendapat koran tersebut. Karena juga tak ada berita tapi nggak dimuat, Selasa
tg 14 Juni lalu saya mengirim email lagi ke Redaktur Pendapat, menanyakan
tulisan tersebut. Karena tak juga mendapat jawaban, tadi pagi saya mengirim
email lagi ke Redaktur Pendapat, menyatakan bahwa saya menarik kembali tulisan
tersebut karena akan saya edarkan melalui media lain, antara lain mailing list
BKK-PII ini.
Mudah-mudahan
rekan-rekan sekalian berkenan membaca tulisan saya terlampir itu dan
mengomentarinya, dalam rangka mengupayakan perbaikan perjalanan pembangunan
manusia dan bangsa Indonesia.
Salam
sejawat.
Tatang
Subsidi
BBM
Memperlancar
atau merusak pembangunan bangsa Indonesia?.
Oleh TATANG HERNAS SOERAWIDJAJA
Data yang disajikan oleh Ditjen Anggaran
KemenKeu (http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/
DataPokokAPBN202013.pdf)
menunjukkan bahwa paling sedikitnya sejak
tahun 2007, subsidi bahan bakar minyak (BBM) selalu merupakan pengeluaran amat
besar negara ini. Bahkan dalam 4 tahun terakhir, subsidi BBM menjadi
pengeluaran tunggal terbesar; jauh lebih besar dari pengeluaran untuk
subsidi-subsidi lain dan belanja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
maupun Kementerian Pekerjaan Umum. Oleh karena ini, sudah sepatutnyalah bangsa
Indonesia mengkaji cermat, berdasar pertimbangan non-politik, apakah subsidi
BBM masih layak dilakukan dan memang bermanfaat bagi pembangunan manusia
Indonesia.
Subsidi
BBM sudah salah kaprah
Menurut definisi OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development), WTO (World Trade Organization), maupun
buku-buku ajar ilmu ekonomi, subsidi adalah kontribusi finansial dari
pemerintah atau badan publik yang diberikan kepada produsen atau konsumen untuk
membuat suatu barang atau layanan tersedia pada harga di bawah harga pasar yang
normal. Tujuan-tujuan pemberian subsidi yang disebut WTO sebagai “wajar/pantas
untuk dilakukan” adalah paling sedikitnya salah satu dari : Pengembangan
industri; Mendorong inovasi dan kemunculan national champions; Perlindungan
lingkungan; Ketahanan nasional; Pelestarian kebudayaan dan warisan budaya;
Mempertahankan karakter multifungsi dari pertanian; dan Redistribusi pendapatan
(meliputi : mendorong kemajuan daerah tertentu, membantu industri yang sedang
kesulitan, dan kewajiban pelayanan publik).
Telaahan awal menunjukkan bahwa subsidi BBM
yang dilakukan pemerintah Indonesia tampaknya hanya bisa sesuai dengan kategori
tujuan “Ketahanan nasional” (dalam bidang energi) dan “Kewajiban pelayanan
publik”. Akan tetapi, bahkan WTO sekalipun menegaskan bahwa subsidi untuk
tujuan ketahanan nasional diberikan kepada barang produksi dalam negeri untuk
mewujudkan tingkat produksi domestik yang menjamin ketahanan nasional dalam
bidang yang dimaksud. Padahal, sebagian besar BBM yang dikonsumsi di dalam
negeri kita dewasa ini bukanlah produksi dalam negeri, melainkan barang impor.
WTO juga menyatakan bahwa untuk tujuan kewajiban pelayanan publik, pelaksanaan
pemberian subsidi harus menjamin bahwa penerima manfaat yang dikehendaki sama
dengan penerima manfaat pada kenyataan sebenarnya, dan umumnya hanya diberikan
pada barang/layanan yang takaran konsumsi normalnya mudah dikendalikan (seperti
air, listrik, telekomunikasi). Padahal, cara penjualan terbuka di SPBU-SPBU
membuat konsumsi BBM oleh masing-masing pembeli tak bisa dijaga selalu berada
pada tingkat yang normal dan, sebagaimana sudah diungkap oleh berbagai sumber
yang layak dipercaya, sekitar 85 % dari dana subsidi BBM diterima mereka-mereka
yang tak berhak. Kini, subsidi BBM malah sebenarnya sudah beralih fungsi
menjadi ‘insentif pemborosan” oleh pemilik-pemilik kendaraan pribadi yang
umumnya adalah golongan menengah ke atas. Jadi, jelas bahwa subsidi BBM yang
masih dilakukan pemerintah Indonesia sampai sekarang sebenarnya sudah salah
kaprah, karena tak mencapai tujuan yang hakiki, malahan membuat porsi yang
sangat besar dari anggaran negara terbuang percuma.
Mendorong
penyelewengan
Sebagaimana tersaji pada tabel (yang
merupakan bagian dari tulisan ini), harga solar dan premium di Indonesia sudah
satu dekade lebih merupakan yang terendah di ASEAN. Pada tahun-tahun terakhir,
harga di Brunei memang lebih rendah dari di Indonesia, tetapi ini dapat
difahami, karena Brunei masih merupakan eksportir netto minyak bumi dan volume
ekspornya lebih besar dari volume pemakaian domestik. Penting juga untuk dicatat
bahwa harga solar dan premium di Indonesia bahkan tak lebih tinggi daripada di
Uni Emirat Arab (UEA), yang merupakan eksportir besar minyak bumi.
Perbedaan harga solar dan premium yang besar
antara di dalam negeri dan di negara-negara tetangga sangat berpotensi memicu
penyelewengan. Penyelundupan ke luar negeri terhadap solar dan premium yang ada
di dalam negeri bisa dilakukan oleh siapa saja yang bernurani jahat. Lebih
dahsyat lagi efek perusakannya adalah kejahatan koruptif yang hanya bisa
dilakukan oleh pihak-pihak yang dekat dengan pusat kekuasaan atau yang
berpengaruh kuat dalam politik. Yang ini biasanya tak terpikirkan oleh para
mahasiwa yang polos dan kelompok-kelompok awam lainnya. Sebagai contoh : Satu
tanker solar atau premium yang baru diimpor dengan harga normal (sekitar 100 US
cent/liter) dan masih dalam perjalanan di kapal (katakanlah dibeli dari
Singapura dan sudah berada di Selat Karimata) dibeli dengan harga subsidi
(Rp4500 atau sekitar 47 US cent/liter). Dana subsidi diurus di level tinggi di
Jakarta sehingga seolah-olah BBM tersebut sudah sampai ke dan dikonsumsi
masyarakat. Satu tanker BBM tersebut kemudian dijual lagi ke luar negeri dengan
harga, katakanlah, Rp7500/liter. Melalui kejahatan koruptif ini, maka pihak
pelaku akan mendapatkan dana besar yang tidak hanya membuatnya jadi sangat
kaya-raya, melainkan juga memungkinkannya mencengkeram kekuasaan negara melalui
pembiayaan kampanye partai politik atau calon-calon potensial pemimpin negeri.
Demi mencegah penyelewangan-penyelewengan
yang dicontohkan di atas, maka jika pun tak dihapuskan sama sekali, subsidi BBM
perlu dikurangi agar membuat perbedaan harga di dalam negeri dan di
negara-negara tetangga (atau dengan harga pasar yang normal) tidak besar.
Perbandingan harga BBM, dari tahun 1998 s/d
2012, di negara-negara ASEAN dan Uni Emirat Arab.
Sumber : GIZ, “International Fuel Prices
2010/2011, 7th Edition, “International Fuel Prices 2012/2013”, Data Preview
April 2013.
Berujung
rendahnya daya beli rakyat
Karena bahan bakar alias energi adalah
kebutuhan primer masyarakat, harga BBM yang sangat murah dalam jangka waktu
lama pada akhirnya akan berakibat rendahnya daya beli kebanyakan rakyat kita.
Merujuk pada data riwayat harga yang tersaji di dalam tabel, maka lambat laun
daya beli kebanyakan rakyat Indonesia akan terperosok menjadi yang paling
rendah di ASEAN. Jika supir taksi di Singapura bisa berlibur ke Jakarta; kapan
supir taksi di Jakarta bisa berlibur ke Singapura?.
Sesungguhnya, salah satu kewajiban para pucuk
pimpinan negara maupun partai politik adalah meningkatkan daya beli kebanyakan
rakyat kita, supaya akhirnya tak kalah dari negara-negara tetangga (atau bahkan
negara mana pun di dunia!). Penegasan pemimpin-pemimpin politik negeri ini yang
menolak kenaikan harga BBM sebenarnya menimbulkan pertanyaan : ” Betulkah para
pemimpin kita, terutama para politisi, tidak tahu/sadar akan kewajibannya itu?
Ataukah mereka hanya belaga pilon demi berebut kekuasaan?”.
Bak
memberi beasiswa kepada yang sudah akan purnabakti
Karena minyak bumi dan bahan bakar fosil
lainnya tidak hanya kian langka dan mahal, tetapi juga berdampak buruk pada
lingkungan, maka kecenderungan global di awal abad ke-21 ini adalah pergeseran
pemanfaatan sumber primer energi, dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber
terbarukan. Oleh karenanya, status BBM di dalam dunia perniagaan dan
pemanfaatan energi sekarang ini adalah seperti status matahari di jam setengah
satu siang : masih berjaya (alias bersinar terang dan kuat) tetapi sedang
menggelincir pelahan ke arah terbenam (alias purna-bakti). Dengan demikian, tak
kunjung henti mensubsidi BBM sambil tak memberi perhatian dan insentif layak
kepada pengembangan industri bahan bakar nabati (BBN) serta energi terbarukan
lain adalah ibarat memberi beasiswa pada warganegara berumur 50 tahun ke atas
(yang hampir habis masa bakti) agar terus dapat bersaing di dunia kerja, tetapi
tak memberi beasiswa apapun kepada mereka yang berusia 25 tahun ke bawah (yang
akan menggantikan generasi tuanya). Ini tentu saja merupakan falsafah
regenerasi dan pembangunan ekonomi yang keliru dari sebuah bangsa !.
Merujuk pada uraian di atas ini pertanyaan
yang sama kembali muncul : “Betulkah para pemimpin kita, terutama para
politisi, tidak tahu/sadar terhadap kekeliruan ini?. Ataukah mereka hanya
belaga pilon demi berebut kekuasaan?”.
Melestarikan
kekeliruan pemahaman dan tuntutan para kawula muda
Di negara ini, setiap kali tersiar kabar
bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka di berbagai kota
terjadi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan para pemuda yang menolak kenaikan
tersebut dengan alasan rakyat masih miskin. Sesungguhnya, pernyataan “menolak
kenaikan harga BBM bersubsidi” merepresentasikan mental pengemis : “nggak
apa-apa kami dan rakyat tetap miskin, murahkan saja harga BBM-nya”. Ini adalah
tuntutan sebuah kelompok masyarakat yang anti-kemajuan!. Kelompok masyarakat
yang ingin maju dan bersikap positif terhadap kemajuan, sadar bahwa harga
(minyak mentah dunia) terbentuk oleh keseimbangan antara pasokan dan
permintaan!. Jangankan presiden Indonesia, presiden Amerika Serikat saja tak
mampu mengatur harga internasional minyak bumi. Jadi, yang dituntut oleh para
kawula muda (mahasiswa dan pemuda) yang pro-kemajuan bukanlah “jangan naikan harga
BBM bersubsidi”, melainkan : “Pemerintah boleh menaikkan harga BBM, tetapi (1)
naikkan gaji pegawai negeri, terutama golongan bawah; (2) sesuaikan upah buruh;
dan (3) naikkan harga pembelian gabah dan produk-produk hortikultura para
petani; agar kelompok-kelompok masyarakat tersebut tetap dapat membeli BBM.”
Semoga saja banyak kawula-kawula muda
Indonesia berkesempatan membaca uraian di atas dan kemudian berubah sikap.
Mereka harus sadar bahwa demonstrasi demi demonstrasi menentang kenaikan harga
BBM sesungguhnya tidaklah merepresentasikan pembelaan terhadap rakyat kecil,
malahan secara pelahan menghantar rakyat kita (dan mereka sendiri) ke jurang
kenistaan. Kesadaran ini akan membuat mereka tak mudah dimanfaatkan demi
kepentingan sesat para politisi maupun importir BBM.
Penutup
Uraian di atas kiranya cukup menegaskan bahwa
subsidi BBM, yang sampai sekarang masih terus dijalankan pemerintah Indonesia,
tidak hanya sudah salah kaprah dan merupakan penghamburan sia-sia anggaran
negara (alias uang rakyat), melainkan juga berdampak buruk pada pembangunan
karakter aneka kelompok bangsa Indonesia. Oleh karena ini, subsidi BBM harus
dalam jangka waktu yang tak terlalu lama, secara terencana dihapuskan dan
dampak buruknya yang sudah terlanjur melekat pada karakter manusia-manusia
Indonesia harus kita tanggulangi.
Penulis adalah dosen Program Studi Teknik
Kimia ITB, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (Komisi Ilmu Rekayasa),
anggota Dewan Riset Nasional (Komisi Energi), Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia
(IKABI), Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI),
dan anggota Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI).
Komentar
Posting Komentar