Langsung ke konten utama

Film : "BANDA", pala, dan mas Reza (wkwkwk)

Saya  mau mohon ampun dulu nih kalau judul tulisan ini agak ngawur hehe. Tapi semoga sudah bisa menebak ya saya akan bercerita apa?. Banda, pala, dan mas Reza (rahadian) : Tiga suku kata yang cukup mewakili film yang saya tonton 4 hari yang lalu berjudul BANDA : The Dark Forgotten Trail.

Pertama-tama saya mau cerita dulu perjuangan saya untuk menonton film ini. Bermula dari undangan seorang teman, saya berkesempatan untuk menonton sejenis “gala premier” film ini di akhir bulan July. Namun karena saat itu saya sedang banyak kerjaan, sayapun mengurungkan keinginan saya untuk ikut nonton. Saya memutuskan menunggu datangnya Agustus, tanggal 3, yang konon akan menjadi tanggal resmi pemutaran film di bioskop-bioskop Indonesia.

Seminggu setelah kejadian itu, saya mengecek website CGV yang ada di Depok, sedih, karena film ini tidak di putar. Saya cari di Jakarta, ndilalah nemunya di Grand Indonesia dengan harga 75.000 banget. Cari di XXI, lho gak ada juga di Depok. Saya pun berpikir positif : “Oh mungkin agak telat muternya”. Sampai tanggal 24 Agustus, belum ada tanda-tanda film itu diputar di Depok. Mupenglaaah saya dibuatnya. Hingga saya bertemu dengan sahabat karib saya yang satu selera dalam hal dengan saya. Yupa namanya. Dia bilang “ Di TIM (Taman Ismail Marzuki) ada Ci. Aku udah nonton dan bagus banget”. Saya makin mupeng, sayapun mencari tiket online. Dan saya kecewa karena ternyata filmnya sudah diturunkan dari jadwal hiks. Nah, drama itu akhirnya berhenti setelah saya menemukan ada satu bioskop yang masih menanyangkannya : di Setiabudi XXI!. Tanpa mikir panjang, saya pun menyeret mengajak Widya untuk menemani nonton, dan Alhamdulillah dia mau…uuuwww sini Wid aku cium dulu wkwkwk.

Karena saya bahagia dan terinspirasi dengan film ini, pada kesempatan ini saya mencoba menuliskan review subjektif saya sebagai bentuk apresiasi atas hadirnya film ini di Indonesia. Saya tidak pandai menulis, tapi saya selalu ingat salah satu perkataan Nyai Ontosoroh pada Minke di salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Begini kira-kira :
Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Bismillah. Semoga tulisan ini bermanfaat ya :)





Film ini dibuka dengan pemaparan sejarah dimulainya penjelajahan dunia melalui jalur laut. Dari masa ketika teori bahwa bumi bulat ditemukan, dari masa ketika dua bangsa besar : Spanyol dan Portugis berebut pengaruh untuk membagi dunia ini menjadi dua kekuasaan besar.

Apa yang menyebabkan bangsa-bangsa besar ini melakukan penjelajahan?. Tidak mungkin dong ya hanya demi menuntaskan rasa penasarannya saja?. Tapi selalu ada kepentingan-kepentingan yang bercokol di balik perjalanan panjang mereka.
Kala itu, sekitar tahun 1500 M, masyarakat dunia sudah mengenal proses jual beli dalam dunia perdagangan. Emas, sutera, dan rempah-rempah adalah komoditas yang sangat penting di masa itu. Yang terakhir saya sebut inilah yang menjadi cikal bakal masyarakat Eropa berbondong-bondong datang ke Indonesia dengan kapal-kapal besarnya.

Sampai pada akhirnya bangsa Portugis mendaratkan kapalnya di Maluku. Sebenarnya ada sejumlah motivasi mengapa kerajaan Portugis ini memulai pelayaran menuju Negara-negara timur. Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal : Five hundred Years of Historical Relationship meringkas motif tersebut dalam bahasa Portugis yakni : feitoria, Fortaleza, dan igreja (sama dengan makna “Gold, Glory, Gospel) yang arti harfiahnya adalah emas, kejayaan dan gereja/peyebaran agama Katholik. Sekitar tahun 1512, dua armada Portugis pimpinan Anthony d’Abreau dan Fransisco Serau berhasil mendarat di pulau Banda. Mereka pun melakukan jual beli rempah-rempah disana. Yang namanya pedagang pasti selalu bisa melihat peluang bisnis dan tidak akan pernah puas dengan keuntungan yang kecil. Itulah yang mereka rasakan, hingga mereka berniat memonopoli penjualan rempah-rempah di Banda. Bahasa mudahnya ya “ “Eh elu-elu jual rempah-rempahnya ke gue aja ya, jangan jual ke orang Arab, Melayu, atau Tionghoa”. Begitulah mereka berusaha. Sebagai masyarakat yang bebas, orang-orang Banda pun menolak dan melakukan perlawanan hingga korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.

Berita tentang keberhasilan Portugis ini mendorong bangsa lain datang ke Indonesia dengan tujuan yang sama. Mereka percaya bahwa siapa yang menguasai rempah-rempah, maka ia akan menguasai perdagangan dunia. Inggris…Belanda….dua Negara itupun ikut-ikutan menjajah rakyat di Banda.

Yang saya ingat adalah kisah penguasaan Banda oleh Belanda. Kejayaan Banda dan rempah-rempah berubah saat VOC tiba di sana. Jika biasanya pala  dan rempah-rempah di tanam secara konvensional, maka semenjak kedatangan mereka, mereka mulai melakukan terobosan untuk menciptakan kebun-kebun. Siapa yang merawat kebun-kebun itu?. Rakyat Banda…dan para budak yang didatangkan dari daerah-daerah jajahan mereka. Dari sinilah kejahatan brutal dan genosida di Indonesia konon terjadi. VOC dibawah komando Jan Pieterszoon Coen melakukan berbagai tindakan yang menewaskan banyak masyarakat disana. Terjadi pembantaian pada tahun 1621  yang membuat penduduk asli Banda yang awalnya ada sekitar 14 ribuan menjadi  sekitar 480 orang. Banyak mereka yang tewas disiksa dan beberapa lainnya memutuskan untuk melakukan migrasi besar-besaran untuk menjauh dari Banda (Statemen ini kemudian di tentang oleh masyarakat setempat).


Pelayaran berburu rempah-rempah dan awal mula penderitaan rakyat Banda.

Cita rasa rempah-rempah mampu melayarkan ribuan kapal dari jauh. Aromanya mengundang negara-negara Eropa berdatangan ke pulau-pulau Nusantara beberapa abad silam. Demikianlah Jack Turner menggambarkan bagaimana rempah Nusantara begitu menggoda dan memikat dunia dalam bukunya, Spice, The History of A Temptation (2004). Awalnya, tidak banyak bangsa Eropa yang mengetahui daerah asal rempah-rempah. Mereka dulunya hanya konsumen, hanya bisa membelinya di Venesia atau Konstantinopel, atau membeli dari para pedangan Melayu, Tionghoa, dan Arab yang menjual rempah-rempahnya dengan harga 100 kali lipat lebih tinggi.

Embusan aroma rempah terlampau menggairahkan pelaut-pelaut Eropa untuk terjun dalam perburuan rempah. Kapal-kapal dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pun berduyun-duyun mencari pulau-pulau penghasil rempah di Nusantara. Christopher Columbus dari Italia dan Vasco da Gama dari Portugis mencari jalan ke daerah asal rempah-rempah. Para pedagang Asia Selatan menyembunyikan peta ke daerah tersebut, hingga orang Eropa tak dapat menemukannya. Christopher Colombus malah nyasar ke benua Amerika sementara Vasco da Gama berhenti di India. Seorang pelaut Inggris, Sir Hugh Willoughby, mencoba peruntungan baru berlayar lewat sisi utara, sebuah rute baru di luar rute pelayaran umum sisi timur dan barat. Bukannya rute pendek yang ditemukan, Willoughby dan anak buahnya justru terjebak di lautan es beku dan tewas pada 1553 di Kutub Utara, seperti ditulis Giles Milton dalam bukunya, Nathaniel’s Nutmeg : Or the True and Incredible Adventures of The Spice Trader Who Changed the Course of History (1999).

"Kami juga mengutuk keras pernyataan yang mengatakan kalau orang asli Banda telah habis dibantai dan punah dalam perang genosida tahun 1621," kata Ketua Dewan Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Wandan, Kamaludin Rery di Ambon, Senin (31/7/2017), dilansir Antara. Kamaludin menegaskan, orang asli Banda yang keluar meninggalkan harta bendanya dan berpencar di berbagai penjuru Maluku hingga luar negeri masih tetap ada. Mereka memiliki keturunan banyak hingga hari ini. Mereka berpencar di Pulau Seram, seperti wilayah Kabupaten Seram Timur dan Maluku Tengah, Banda Eli, dan Banda Elat di Kabupaten Maluku Tenggara, maupun di Pulau Haruku (Kailolo) dan Pulau Ambon seperti di Negeri Amahusu. (http://regional.liputan6.com/read/3041772/warga-protes-film-dokumenter-banda-the-dark-forgotten-trail)

Wallahu’alam lah ya yang benernya gimana. Apakah rakyat asli Banda dibantai habis atau tidak, saya tidak tahu persis. Tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa kekerasan dan kejahatan itu nyata adanya.



Pertukaran Pulau Run dan Manhattan

Teman-teman suka bertanya kepada saya mengapa saya sangat ambis memberi nama Manhattan kepada anak laki-laki saya nantinya. Baiklah, mumpung ada kesempatan, saya akan sedikit promosi disini (semoga calon ayahnya membaca tulisan ini ya wkwkkwk). Pertama-tama adalah karena nama Manhattan itu unik didengar yang bukan nama yang mainstream, kedua adalah supaya dia bisa saya panggil Hatta dan mewarisi karakter bung Hatta sebagai tokoh idola saya, dan ketiga adalah supaya nasibnya mujur (secara financial wkwwk) seperti kota Manhattan di New York yang juga disinggung dalam film ini. Kalau ingat kota Manhattan di New York, jangan melupakan sejarah yang menyertai perkembangannya. Gimana sih sejarahnya?.

Jadi dulu Belanda menguasai hampir seluruh Kepulauan Banda. Selama di Banda, Belanda membangun beberapa benteng untuk mempertahankan kekuasaannya, salah satunya adalah Benteng Belgica (yang berumur kurang lebih 400 tahun). Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam ditembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk. Kata pak Goenawan Mohamad  Di tempat inilah ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan dari 200 orang Belanda yang dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615.

Karena mengalami kekalahan dan tekanan yang berat, Inggris berangsur-angsur memutuskan untuk meninggalkan Banda. Inggris yang menguasai pulau Run (yang berlokasi di dekat Banda) harus menukar pulau itu dengan Pulau Manhattan milik Belanda (yang berlokasi di New York) pada 1667 melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian Breda. Kalau kata kak Tegar sih begini :

“Secara geopolitik lebih masuk akal sih.. koloni Nieuw Amsterdam dan sekitarnya lokasinya terjepit diantara koloni-koloni Inggris, sementara posisi Inggris di pulau Run tidak cukup nyaman dikepung beberapa trade post VOC disekitar Indonesia.. suatu yang tidak terelakkan yang dikatalisis perang Inggris-Belanda”.

Ya ngerti kan maksudnya. Intinya mah perjanjian Breda ini sebenernya secara tidak langsung juga menguntungkan kedua belah pihak.

Lalu bagaimana nasib kedua pulau itu setelah ditukar dan berganti kepemilikan.

Hiks. Tragis.

Manhattan tumbuh menjadi kota yang sangat maju di New York dan menjadi pusat keuangan dunia, dikunjungi banyak wisatawan, dan mendapatkan devisa luar biasa besar setiap tahunnya,  sementara Pulau Run kita semakin terpuruk dengan kekayaan rempah-rempah yang dimilikinya.

Apakah kemudian kita akan bersedih dan menginginkan Banda berubah seperti Manhattan?

Disinilah rasa respect dan kagum saya mulai tumbuh pada film Banda. Film ini mencoba memberikan solusi alternative untuk membangkitkan Banda dari keterpurukan rempah-rempah.

Konon, masa kejayaan rempah-rempah tidak bertahan lama di Banda. Kalau dahulu orang rebutan rempah-rempah untuk digunakan sebagai pengawet makanan, sekarang orang menjadi woles karena kulkas sudah ditemukan. Pengawet yang lebih murah pun sudah banyak di pasaran. Kalau dulu masakan-masakan bisa enak karena ada rempah-rempah, sekarang orang menjadi woles semenjak masako/royco perisa sintetik ditemukan. Lhah piye iki?.

Sembari memikirkan solusinya apa, film ini beranjak sejenak untuk membahas hal lainnya yaitu tentang bagaimana pulau Banda menjadi tempat penting dalam buku sejarah kita. Banda turut berperan penting dalam lahirnya Indonesia. Para pendiri Negara kita, sebut saja Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri pernah hidup di kepulauan Banda, mereka di buang di salah satu bagian pulau kecil yang ada disana yaitu Banda Neira. Di tempat pengasingan inilah ide-ide kebangsaan bermunculan.

Dari sini saya makin ngefans dengan sosok Hatta. Digambarkan bahwa meskipun sedang diasingkan, tetapi Hatta masih bisa melakukan aktivitas rutinnya : membaca buku!. Ia pergi ke pengasingan dengan mengangkut kira-kira 4 peti buku bacaan. Gila nggak sih?. Karena kecintaannya terhadap bukunya ini, Hatta sempat berujar (dan kalimatnya ini suka dibuat quotes di hari buku nasional gitu).

Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas

Meski sering mendengarkan kalimat ini, tapi kalimat ini selalu bermakna tajam di sabnubari saya : “Duh, seberapa besar aku meneladani kecintaannya sama buku?”. Apa selama ini aku memang rajin membaca buku? Atau Cuma rajin beli atau mengoleksinya saja?”
*kemudian nengokin rak di kamar yang penuh sama buku-buku yang belum dibaca.

Sosok Hatta memberikan banyak pelajaran untuk saya. Di balik diamnya, ia berjuang melalui pemikirannya. Ia berjuang dengan buku-buku yang ada bersamanya. Hiks…kadang saya mikir, senang sekali ya punya pasangan hidup seperti Hatta. Tapi lagi lagi saya harus introspeksilah ya : Hatta berjanji hanya akan menikah setelah Indonesia merdeka!. Jangan-jangan cowok seperti Hatta memang ada, tetapi semuanya berpikir seperti itu haha.. Emang aku kuat nunggu selama itu?. #kokmalahcurhat.


Membangkitkan lagi kejayaan Banda.

Nah, jadi apa hubungannya antara sejarah Banda dan kisah tentang pengasingan tokoh-tokoh pendiri bangsa yang diasingkan kesana?

Harus ada upaya-upaya serius dari pemerintah!. Untuk memajukan industri rempah-rempah, pemerintah harus melakukan ebrbagai terobosan teknologi dan menggencarkan promosinya.

Semntara untuk menjaga eksistensinya, Banda sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Wisata apa?. Bukan sembarang wisata alam yang didatangi para turis yang ingin menikmati keindahan alam saja, melainkan juga wisata sejarah.

Saya setuju dengan pendapat  Pak Usman Thalib (salah satu narasumber sejarah dalam film)  yang mengatakan bahwa : Di masa depan masyarakat Banda boleh maju dan berkembang, tetapi beliau berharap Banda tetap menjadi seperti sekarang sebagai daerah yang penuh sejarah, daerah kolonial abad ke-17, dengan mempertahanakan nilai-nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Pun pesan Pak Wim Manuhutu sangat saya setujui bahwa beliau tidak ingin Banda dikunjungi banyak wisatawan, tetapi mereka tidak mengerti apa yang dilihat, hanya jalan-jalan dan menikmati yang bagus-bagus saja. Beliau ingin wisata sejarah dan budaya dikembangkan di Banda. Wah seru ya!

Review film secara keseluruhan.

Banda menjadi film documenter Indonesia terbaik yang pernah saya tonton. Dari hasil kepo, film ini mulanya hanya berawal dari niatan sederhana mbak Lala Timothy yang menyaksikan pameran rempah-rempah beberapa tahun lalu. Dari pameran itulah ia tahu bahwa sebenarnya jalur rempah-rempah yang melalui Banda ini adalah jalur penting yang menginisiasi terbentuknya jalur sutera yang terkenal itu. Beliau menjadi terinspirasi untuk membuat film yang bisa menyadarkan masyarakat tentang fragment sejarah penting yang dimiliki Negara ini.

Dipilihlah Jay Subiyakto sebagai sutradara, sementara itu pembuatan naskah dipercayakan kepada mas Irfan Ramli, Perpaduan antara sutradara professional, penulis naskah kreatif, sinematografi yang keren parah ditambah dengan narrator yang berkharisma membuat film ini Nampak sebagai film yang berkelas!

Melalui film ini, saya menjadi ngefans dengan mas Reza. Kalau para cewek-cewek gila dengan acting atau penampilan fisiknya, disini saya dibuat melongo dengan suaranya, caranya bercerita, emosi, dan semangat yang diungkapkannya melalui beberapa penekanan-penekanan pada masing-masing kata.

Bagi yang belum nonton, serius deh ya, segera nonton film ini di bioskop. Jangan membajak film Indonesia. Tapi kalau membajak film luar sih boleh.

Akhir kata, saya ingin berterimakasih pada semua pihak yang telah berhasil membuat saya lebih menyadari pentingnya belajar sejarah. Saya menjadi bersemangat untuk lebih banyak membaca-baca buku sejarah setelah menonton film ini. Tidak salah jika ada quote jleb yang muncul di pertengahan film :

Melupakan masa lalu sama dengan mematikan masa depan bangsa ini


Tapi melupakan mantan-mantan kita akan membuat masa depan kita menjadi lebih baik untuk diperjuangkan bersama.

Komentar