Langsung ke konten utama

Kisah Orang yang Tak Bersetia

Cuplikan salah satu cerpen dalam buku "Dua tangisan pada satu malam", karya Puthut EA.

Malaga, lelaki berpunggung terbuka, ini malam pada hitungan tak terhingga, ketika kau sungkurkan tubuhmu di pangkuanku –sehingga benar-benar kuhapal peta punggungmu—napas pedih menyebar di kedua pahaku, semenjak itu aku sangat tahu, Malaga ... ada suatu saat di dalam hidup ini yang pantas kita ingat, bukan karena sedih dan gembira, bukan karena berkah dan petaka. Suatu saat yang pantas diingat tanpa alasan-alasan, tak butuh segala penjelasan.

Di depanku membentang selat yang seram, di kedalamannya yang tak tertembus cahaya, sebuah kerajaan berdiri tanpa keriangan, di sana, mungkin, segala kapal yang karam berkumpul. Senja yang memerahi tubuhmu adalah sebuah senja yang sengit. Dan, aku tahu, kepergianmu tanpa kepulangan. Selat yang seram itu pasti menggulungmu.

Aku tidak menangis,  Malaga, sebab perempuan sepertiku sudah semenjak kecil tidak dibiasakan dengan tangisan dan tertawa riang. Seorang gadis yang lahir ketika sebuah kapal karam, harus diperiksa. Jika gadis itu berambut perak, maka ia harus diselamatkan, jika tidak ia harus pergi menghambakan diri, menebus dosa yang tidak pernah diketahuinya bersama kepala-kepala ternak terbaik, bunga-bunga, nyanyian parau, dan seorang ganeya. Gadis yang tidak berambut perak ketika sebuah kapal karam adalah gadis yang harus menemani. Sebab konon di dasar selat yang seram, mereka butuh bayi perempuan untuk ditimang, dibesarkan, dan diperistri. Laki-laki yang tenggelam masih juga membutuhkan perempuan, entah mengapa.

Tapi, akulah bayi perempuan berambut perak. Para ganeya merawatku dengan tulus. Mereka mengajariku bersikap dingin seperti selat yang seram tak tertembus cahaya. Aku dilahirkan bukan untuk banyak berkata-kata. Akulah pelindung bumi ini. Seluruh ganeya berambut perak, jumlah mereka selalu tujuh, dan dengan diriku, ada delapan ganeya. Setiap kapal karam selalu bertepatan dengan kelahiran bayi-bayi baru, di antaranya pasti ada yang berambut perak. Bayi laki-laki selamat, bayi-bayi perempuan belum tentu, bila bayi perempuan itu tidak berambut perak, ya ... ia harus menemani kapal karam itu. Tak peduli berapa jumlah bayi perempuan yang lahir. Sebab bayi ganeya hanya satu, yang lain harus dilempar ke dasar lautan. Juga ganeya tua, ia harus pergi juga ke dasar lautan. Di bumi ini, selalu hanya ada delapan ganeya. Sebuah kapal yang karam selalu lahir ganeya dan selalu membawa ganeya tua pergi, mengantar bayi-bayi perempuan, potongan-potongan ternak terbaik, bunga-bunga. Seorang ganeya muda akan diantar dengan upacara pada usia delapan puluh purnama di sebuah goa tempat para ganeya melewati hari-harinya. Masa-masa ketika ada ganeya muda di perkampungan adalah masa-masa yang tak mungkin ada kapal karam, masa-masa paling terberkati, pertanda bahwa ganeya adalah seorang penguasa yang mampu menolak setiap malapetaka, setiap kutukan.

Aku dirawat di sebuah goa. Di bibir goa, aku dapat melihat perkampungan yang kulindungi tanpa terhalang apapun. Dan, pasti bisa kulihat selat yang seram itu. Selat yang suatu saat pasti akan menelanku, tujuh karaman kapal lagi, lalu yang kedelapan, aku harus menunaikan tugasku, mengantar dan memastikan, segala kiriman sampai dengan selamat di dasar lautan.

Aku adalah ganeya moji, ganeya utama yang bukan saja melindungi bumi ini, tetapi juga pemimpin tujuh ganeya yang lain. Goa tempat tinggalku mempunyai empat ruang. Tepat setelah bibir goa, sebuah ruang datar dengan batu-batu rata, di sana palege mengantarkan kebutuhan kami setiap tiga hari sekali. Mereka laki-laki pilihan yang juga bertugas menghubungkan kami, para ganeya dengan para penduduk dan tetua kampung. Ruang pertama setelah ruang datar adalah tempat enam gayena. Setelah itu ruangku, ruang ganeya moji, ganeya penguasa. Dan, di belakang ruangku, ruang ganeya molou, ganeya paling tua yang jika ada kapal karam akan mengantar sesaji. Dari mulut palege, kami tahu siapa saja yang lahir, menikah, dan mati di kampung ini. Kami juga tahu kapan musim ikan berlimpah dan kapan musim wabah.

Seorang ganeya adalah seorang pemegang restu. Seorang ganeya juga seorang yang dari kecil dilarang banyak berkata-kata. Kami berbicara dengan raut muka. Berkata-kata adalah aib besar bagi seorang ganeya, apalagi ganeya moji sepertiku dan terlebih ganeya molou. Tugas kami adalah mendengar palege bercerita, mengangguk memberi restu, menggeleng tak memberi restu.
Malaga, engkaulah salah satu palege itu. Engkaulah satu-satunya palege yang menatap tak hormat kepada kami, para ganeya. Suaramu tegas dan runtut bercerita, seperti bersyair, menggetarkan dinding-dinding goa, merayapi hatiku dengan perasaan asing. Berkisah dengan nada berbeda tentang pernikahan, kematian, kelahiran, ikan yang melimpah, juga musim wabah. Dan, ketika kami memberi anggukan restu, engkau pergi seperti membawa kemenangan, dan kulihat punggungmu yang dibakar matahari saat mendaki bukit batu menuju goa ini. Punggung yang menyisakan mimpi untukku.

Lalu akulah ganeya yang paling menunggumu. Ganeya yang paling berhasrat melihat sorot matamu menyapu pandang para ganeya, perbuatan yang tidak pernah berani dilakukan oleh palege-palege sebelumnya. Suara yang turun-naik berirama mempermainkan perasaanku, mengalahkan mantra-mantra yang kupelajari dari dinding-dinding goa. Mungkin di luar, kata-kata melaju bersama hiruk-pikuk manusia dan di sini mantra-mantra membeku. Ah, Malaga, engkau hanya punya tiga purnama untuk bercerita sebelum palege lain yang berusia lebih muda menggantikanmu, mendaki bukit batu, bercerita, berharap membawa pulang restu.
Ah...Malaga...

Hingga suatu saat keberanianmu seperti tak terkendali, kau meminta untuk bercakap denganku, dengan ganeya moji. Aku hanya bisa mengangguk, ketika mata ganeya yang lain melihat ke arahku, meminta jawabku. Lalu mereka masuk dengan raut muka yang sama dari waktu ke waktu, mungkin hanya aku yang merasakan perbedaan dirimu dengan palege yang lain. Tetapi, setidaknya para ganeya menyimpan heran dan tanda tanya, sebab ini baru pertama kali seorang palege ingin berdua bercerita dengan seorang ganeya, sekalipun seorang ganeya moji, ganeya utama.

Malaga, jangan mendekat, teriakku dalam hati. Aku baca banyak-banyak mantra, tapi Malaga, sorot matamu itu, mantra-mantraku menjadi tak beraturan, aku gemetar. Dan, kau semakin mendekat, tubuh beraroma pala menyergapku, mengingatkan aku pada angin garang laut. Lalu engkau berkisah tentang seorang laki-laki yang menderita. Seorang pemuda nestapa yang menyimpan cinta terhadap seorang perempuan.

Bukankah wajar seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dan sebaliknya? Tanyamu padaku. Aku mengangguk. Bukankah tidak ada hukum yang mengatur seorang laki-laki mencintai seorang perempuan selain ibu dan saudara  kandungnya? Aku mengangguk. Matamu, Malaga, jangan...jangan kau sorotkan dengan tajam ke mataku. Telah habis mantraku, telah habis dayaku. Dunia dari dulu sering tidak adil terhadap cinta, katamu tegas dan bergelora, seperti ada dendam tak terlampiaskan. Mau tahu buktinya? Aku mencintaimu, ganeya.
Malaga...

Tubuhku begitu dingin, dan beberapa waktu yang lalu setelah kau ucapkan kalimat terakhirmu, engkau adalah punggung yang kuinginkan untuk berbalik. Tapi, tidak, sebab engkau pasti pergi jika menginginkannya, dan akan tetap tinggal di sini, bercerita, jika menginginkannya pula. Ketahuilah Malaga, apakah tidak ada yang mengajarimu di bawah sana bahwa seorang ganeya adalah makhluk yang terberkati semesta? Suci dari kebiadaban kata-kata apalagi cinta. Kkami melindungi kalian semua dari amukan dan kerkahan alam, kalian semua merusak, alam murka, kami mendamaikannya. Kami bermantra setiap saat. Mantra yang terucap dalam hati dan dalam sepi, menumpang udara, melaju, memastikan pada alam, selain manusia yang ramai, hiruk-pikuk, berdosa, selalu ada kami, segelintir orang yang akan menyeimbangkan segala ulah manusia dengan mantra, puja-puja, permohonan maaf. Segelintir manusia yang merelakan dirinya sejak lahir hingga tua menebus dosa orang lain.

Tapi, Malaga, engkau menjeratku dengan bimbang, mengingatkanku pada getar. Seperti belantara, engkau membabat semak, memotong pepohonan, membakarnya, biji-bijian tumbuh subur dalam diriku. Selain kemudian aku menunggumu, aku mulai mempertanyakan segala sesuatu.

Dan, ini kali terakhir kedatanganmu. Lebih berani, lebih meyakinkan ketika mengajakku keluar dari goa menuju pantai, dan akan mengembalikanku ketika malam tiba. Aku sekali lagi hanya mengangguk, wajah ganeya lain tetap biasa. Mungkin mereka semua benar-benar ganeya yang baik. Sebab, ganeya yang baik berwajah dingin, tak pernah sedih, tak pernah riang, tak pernah terkejut.

Pantai dan senja ini, Malaga, yang menjadi saksi saat kau sungkurkan tubuhmu. Sehingga bisa lekat kubaca punggungmu. Aku tak bisa, bukan karena aku seorang ganeya, dan bukan karena aku takut melarikan diri denganmu melewati selat yang seram, mencari kehidupan baru di balik senja daerah ini. Tapi, memang ada saat-saat tanpa kesedihan, tanpa keriangan. Ada tindakan-tindakan yang memerlukan alasan, dan ada yang tidak memerlukan apa-apa. Sejujurnya, engkau meninggalkan banyak biji-bijian pertanyaan yang begitu subur tumbuh dalam diriku. Tetapi, aku mendapatkan engkau bukan satu-satunya jawaban. Begitu meninggalkan kehidupan goa, kutanggalkan mantra-mantra dan getaran hatiku padamu di sana, di dalam goa. Angin kebebasan ini ingin membuatku melangkah lebih jauh, menyusuri pantai, menyusuri garis bebukitan. Satu-satunya yang bisa kujanjikan adalah mengingatmu, Malaga. Bahwa engkaulah yang menyemaikan getar dan tanya, aku menemukan keberanianku. Tapi, jika aku pergi denganmu, aku pasti menuju pada diam yang lain, diam seorang perempuan yang sunyi dan terkucil untuk patuh kepada sorot mata, suara, dan punggungmu. Aku sedang tidak ingin bersetia, pada apa saja. Juga padamu, laki-laki yang kuanggap paling berjasa.

Engkau bersikeras. Mengancam bahkan, untuk mengarungi selat yang seram sendirian, menjatuhkan diri di dasar lautan, untuk membuktikan cintamu. Tapi, aku bergeming, Malaga. Dan, kau seret perahu, senja memerahi tubuhmu. Aku tahu, cukup tahu, akan lahir orang-orang sepertiku, yang tidak ingin bersetia pada apa pun juga, sebab di luar banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban sementara, sebab hari sering berganti cuaca, sebab hati punya banyak rasa.

Sungguh, cukup kuat alasan bagi orang, untuk tidak bersetia pada apa saja.



Komentar