Langsung ke konten utama

Kebebasan dan Bakti


“Ni, apa yang kamu temukan di huruf Belanda?”
Kebebasan.
“Lalu, apa yang tidak kamu temukan di huruf Belanda?”
Entahlah, aku belum tahu.
“Bakti”

Potongan dialog tersebut adalah bagian yang paling berkesan bagi saya ketika menonton film KARTINI karya salah satu sutradara favorit, Hanung Bramantyo. Dialog terjadi antara Kartini dengan Ibunya di pinggir kolam yang sangat indah dan damai.

Saya tidak ingin banyak spoiler tentang film ini, tapi saya akan mencoba bercerita tentang dalamnya pesan yang saya dapatkan dari dialog tersebut.

Seperti yang kita tahu lewat sejarah, Kartini hidup pada masa ketika perempuan berada dalam kurungan adat istiadat. Ia merasa hidupnya terkungkung dengan aturan-aturan ruwet yang mengikis hak dan kebebasannya sebagai perempuan, yang selalu di nomor duakan, yang harus nurut semua aturan, yang harus memenuhi standar turun temurun nenek moyang. Di mata orang lain, ia dinilai orang yang beruntung, tetapi ia merasa tidak bahagia sama sekali. Hidupnya hampa, dan tidak berarti apa-apa.

Di tengah-tengah kegamangannya, Kartini memberontak. Berkat kebijaksanaan kakaknya, Kartono, ia menemukan makna kebebasan yang sebenar-benarnya, yaitu melalui buku dan ilmu. Kartini mulai membaca-baca buku sastra berbahasa Belanda. Ia mulai jatuh cinta dengan buku dan bahasa Belanda. Dengan membaca buku, ia mendapatkan ilmu. Dengan mendapatkan ilmu, pikirannya menjadi terbuka, dengan demikian ia bebas menuangkan ide-ide, keinginan, dan pemikiran-pemikirannya.
Kartini merasa menemukan apa yang selama ini ia cari.

Namun, dalam penemuannya itu, ia kemudian dihadapkan lagi pada pilihan hidup yang cukup sulit : antara tetap mempertahankan “kebebasan” dalam pemaknaan pribadinya dan atau berkorban untuk kebaikan yang ia cintai. Yang dalam tulisan ini akan saya sebut sebagai bakti.

“Semua orang punya kebebasan. Hak untuk memilih apapun keputusan dalam hidupnya, hak untuk memilih cita-cita. Tapi sebaiknya orang itu tetap memiliki bakti dalam hatinya”

Itulah yang saya tangkap dari dialog antara ibu kepada Kartini muda. Apa maksudnya?. Apa ini berarti “kebebasan” akan selalu berbenturan dengan “bakti”?.

Hehe, saya rasa tidak juga. Tidak semua harus dibentur-benturkan. Itu prinsip pertama saya dalam tulisan ini^^

Seperti yang telah saya katakan di awal, bakti adalah kondisi yang menggambarkan sebuah upaya pengorbanan demi kebaikan yang kita cintai. Yang kita cintai ini bisa bermacam-macam : Tuhan, bangsa, orang tua, pasangan hidup, kekasih, saudara, sahabat, profesi, dan sebagainya.

Bagi mayoritas orang, bakti mungkin merupakan frase yang amat berat untuk dimaknai. Iya, saya rasa juga begitu. Bakti mungkin sering tidak bisa dilogikakan, tetapi disanalah letak sakralnya. Ia bisa membuat seseorang menjadi legowo untuk sedikit berkorban.

Yap, kuncinya ada di legowo, ikhlas. Kalau bakti dijalankan tanpa legowo, pastilah bakti itu terasa begitu menyiksa. Legowo adalah kunci pertama.

Saya kadang bertanya pada Ibu saya yang rela bekerja keras demi membantu Ayah. Padahal sebagai perempuan, ibu bisa saja memilih di rumah. Menjalankan hal-hal pokok saja tanpa ada pekerjaan tambahan. Toh mencari nafkah adalah tugas ayah. Tapi ibu berkata “Ini bentuk bakti mama kepada bapak. Mama mencintai bapakmu, jadi mama ingin membantu beliau dengan bakti ini”. Dan subhanallah...dengan sikap legowo ibu saya itu, saya tidak pernah melihat ibu bersedih, mengeluh, atau menyesal dengan pilihannya.

Dan, cinta adalah kunci kedua. Kita tidak akan mungkin berkorban kalau kita tidak mencintai yang kita perjuangkan kan?

Dalam film Kartini pun, saya melihat bahwa pada akhirnya Kartini tetap berbahagia dengan bakti yang ia pilih. Ia memilih menerima pinangan bupati Rembang sebagai bakti terhadap ayahnya dan tidak melanjutkan aplikasi beasiswanya ke Belanda. Setelah menikah, Kartini justru mampu mendirikan sekolah untuk masyarakat miskin sesuai dengan yang ia cita-citakan dari awal. Bahkan namanya harum dikenal banyak orang hingga sekarang.

Itu karena Kartini legowo dengan bakti yang ia pilih. Itu karena Kartini mencintai Indonesia dan rakyat miskin yang membutuhkannya.

Apakah kemudian bakti justru malah membatasi kebebasan perempuan?

Menurut saya, jawabanya relatif. Bisa iya dan bisa tidak sama sekali.

Bagi saya, tidak ada seorang pun yang dapat membatasi diri kita, tidak orang tua, tidak suami kita, tidak laki-laki manapun. Tapi diri kita sendiri.

Bakti akan membuat kita terkungkung jika diri kita selalu menempatkan ego pribadi di atas segalanya. Bakti akan membuat pilihan kita menjadi sedikit karena pikiran kita sempit, kita tidak punya banyak pilihan dalam hidup ini.

Kok bisa tidak punya banyak pilihan?. Ya karena kita membatasi diri kita. Kita membatasi diri kita dari pengetahuan. Kita membatasi diri dengan proses belajar. Kita membatasi diri dari perbedaan-perbedaan.

Saya jadi berpikir : alangkah indahnya jika pada setiap kebebasan, terdapat bakti yang senantiasa mendampinginya.

Pada kebebasan menjadi seorang guru/dosen, ada bakti untuk mencerdaskan anak bangsa. Dengan demikian, harta bukan lagi menjadi soal yang utama. Gaji sedikit ia syukuri, gaji banyak ia syukuri. Yang lebih dari itu semua, ada kepuasan batin yang tak hingga, ketika ia berhasil memberikan pengetahuan.

Pada kebebasan menjadi politisi, ada bakti untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Dengan demikian, kuasa tidak lagi menjadi raja dalam hatinya. Mendapat kursi kekuasaan alhamdulillah, kalaupun kalah pemilu tetap ada ruang kontribusi yang menanti.

Pada kebebasan mengelola media, ada bakti untuk menyediakan informasi berkualitas pada masyarakat yang menjadi pemirsanya. Dengan demikian,orang-orang yang berkecimpung di dalamnya tidak mudah tergiur untuk menyajikan berita hoax, provokasi, atau black campaign demi pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadapnya. Rating tidak lagi menjadi tujuan utama, asal masyarakat bisa tercerdaskan dengan informasi-informasinya

Pada kebebasan berekspresi di dunia film, ada bakti untuk tidak merusak moral sesiapa saja yang menontonnya. Dengan demikian, para pembuat film bisa berpikir berkali-kali untuk membuat film-film vulgar, tayangan “sebatas kejar tayang” atau berusaha mencitrakan hal negatif sebagai sesuatu yang kekinian. Popularitas tidak menempati ruang dominan dalam cita-citanya, asal masyarakat bisa terhibur dan mendapatkan value baik dari karya filmnya.

Pada kebebasan bersuara, ada bakti untuk menjaga perasaan orang-orang yang berbeda pandangan terhadapnya. Dengan demikian, kita bisa memurnikan kembali niat : kita menyuarakan sebuah aspirasi untuk kebaikan, atau hanya berusaha menjatuhkan lawan-lawan?

Pada kebebasan menjadi istri, ada bakti untuk mendukung suami dan menjaga keutuhan keluarganya. Dengan apa? Dengan berbagai macam cara yang pasti berbeda-beda untuk tiap keluarga. Dengan demikian, seorang istri tetap bisa berkarya dan memperjuangkan cita-citanya, tetapi ia bisa tetap bahagia dengan perannya di keluarga.

Pada kebebasan menjadi suami, ada bakti untuk melindungi istri dan mencintai keluarganya. Ia bebas berambisi dalam karirnya, tapi ia tidak lupa bahwa ada keluarga yang harus ia jaga.

Pada kebebasan mencintai, ada bakti untuk sedikit mengalah dengan ego-ego yang dimiliki.....
Karena toh, mencintai juga akan memerlukan bukti : seberapa besar kamu mau berkorban?



Komentar