Langsung ke konten utama

Mengukur Lompatan



“Kak Rosi, tolong bantu Rania kak. Nilainya di kelas jelek sekali. Terutama Matematika”
“Memangnya nilainya berapa bu?”
“Masaa Rania Cuma dapat nilai 61, padahal teman-temannya banyak yang dapat 80,90, ada juga yang 100 malah”
“Semester kemarin nilai Matematika Rania berapa Bu?”
“Merah Kak..dapet 54”

Dialog pun berhenti, saya tersenyum sembari melihat Rania yang nampak tidak bisa membela diri di hadapan ibunya. Singkat cerita, ibunya menyuruh saya sebagai guru les privat untuk menyulap nilai Rania dari 61 menjadi minimal 80. Saya tidak mengiyakan begitu saja permintaan Ibu ini. Saya hanya mengatakan bahwa “Oke bu, saya akan mencoba”.

Kembali saya mengamati gadis 13 tahun itu dalam-dalam. Seharusnya saat ini ia telah duduk di kelas 1 SMP, tetapi karena sang “Guru” menganggapnya tidak mampu bersaing dengan teman-temannya, Rania harus tinggal di kelas 5. Dan minggu ini ia baru saja menginjak kelas 6 SD.

Dibandingkan dengan usianya, perawakan Rania tidak menunjukkan bahwa ia sudah 13 tahun. Gadis manis berkulit sawo matang ini secara fisik lebih mirip anak kelas 3 SD. Ia hanya memiliki tinggi 100 cm.Jika berfoto bersama teman-temannya, Rania nampak sebagai “adik yang paling kecil”

Pernah satu kali saat saya pulang mengajar, sang Sopir mengajak saya mengobrol “Mbak, yakin mau mengajar Rania?”, tanya beliau menyelidik. “Memang kenapa, Pak?”, jawab saya pendek. “Rania itu sudah berkali-kali ganti guru les mbak…sudah kelas 6 belum bisa ngitung seperti teman-temannya. Ya bisa dibilang terlambat mikir lah”, kata Bapak tersebut sambil tertawa.

Jika biasanya saya hanya melayani job mengajar untuk jenjang SMA, kali ini saya cukup mempertimbangkan tawaran yang tidak lama diberikan pada saya tersebut. “Seminggu 5 kali Mbak..senin-jumat. Bayarnya lumayan lho 80 ribu per jam, padahal Cuma anak SD”, kata agen itu sembari promosi. Karena saya sedang butuh cukup banyak uang untuk menyambung hidup, saya pun tidak banyak berpikir. Langsung menyambut baik tawaran tersebut.

Selama saya mengajar, saya seringkali melakukan observasi kecil untuk mencari cara yang ampuh agar anak ini enjoy dalam belajar matematika. Beberapa kali saya membuat soal-soal yang saya warnai, saya kemas dalam bingkisan-bingkisan menarik berhadiah, saya bentuk puzzle dll…

Cara ini saya rasa cukup ampuh. Terbukti di 40 menit pertama, Rania nampak asyik mengerjakan soal yang saya kemas sedemikian rupa karena ingin memecahkan game yang saya berikan. Tapi cara ini ternyata hanya bertahan sebentar. Di menit-menit berikutnya, ia nampak lebih memilih menggambar berbagai macam desain baju.

Saya harus akui bahwa kemampuan anak ini menggambar sangat bagus. Saya tidak bisa bilang “cukup bagus”, tetapi “sangat bagus”. Kalau saya disuruh menggambar desain sepertinya, saya akan angkat tangan. Sebagai tambahan, kamar Rania penuh dengan boneka Barbie, jumlahnya mungkin ada sekitar 50.an. Tapi jangan salah. Ia bukannya bermain untuk mendandani Barbie-barbie tersebut atau memainkan Barbie seperti anak-anak lain. Ia mempelajari pola baju yang dikenakan si boneka, kemudian membuatkan gambar-gambar baju karyanya sendiri. Dari sinilah saya mulai menyelidiki. Ternyata Rania sangat ingin menjadi desainer baju yang professional. Tidak main-main, ia bahkan sudah punya rencana untuk melanjutkan sekolah desain di Paris, seperti yang ia visualisasikan dengan banyaknya pernak-pernik menara Eiffel di kamarnya.

Sungguh anak yang sangat berbakat!, Batin saya saat itu. Saya merasa, hal ini harus saya sampaikan pada ibunya.

Menjelang wisuda, saya beranikan diri untuk membuat janji dengan ibu Rania. Kebetulan saat itu bertepatan dengan pembagian rapor Rania yang terakhir di SD. Momen yang tepat untuk membahas progress dan “undur diri”, pikir saya saat itu.

Saya langsung ditodong dengan keluhan sang Ibu tentang nilai matematika Rania yang hanya “75”. Persis tepat di garis SKM (Standar Kelulusan Maksimum), bukan diatas 80 seperti yang beliau cita-citakan diawal.

Anggap saja pendahuluan ceritanya sampai disini.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Baiklah, rasanya saya harus menulis hal ini. Bukan sebagai bahan pembelaan saya karena saya gagal menyulap nilai anak SD dari 61 menjadi >80. Tapi ini soal konsep yang saya pikirkan tentang “mengukur lompatan”.

Masih terkait dengan cerita yang saya sampaikan di awal, tentu teman-teman akan sangat sering menjumpai di lapangan kisah-kisah yang serupa dengannya. Progres belajar anak selalu dibandingkan dengan apa yang didapatkan orang lain. Padahal, untuk mengukur progress, kita akan lebih mudah menilainya dengan lebih wise jika subjek yang kita nilai adalah orang yang sama.

Jika semester sebelumnya Rania sudah mendapatkan nilai 54, kemudian semester berikutnya ia mendapatkan nilai 61. Bukankah sebenarnya Rania telah melakukan lompatan sebanyak 7 point?. Itu artinya, Rania sudah menciptakan progress sebesar 13% dari keadaan awalnya. Sekarang, jika Rania semester lalu mendapat nilai 61, sementara di semester akhirnya ia mendapatkan nilai 75, Rania telah melakukan lompatan sebanyak 14 point, dan dia telah berhasil meningkatkan progressnya sebanyak 23% dari kondisi awalnya.

Itu hanyalah lompatan kuantitatif yang bisa kita hitung, kita belum lagi menghitung lompatan kualitatif yang nilainya akan jauh lebih bermakna bagi kehidupan realnya. Misal perubahan-perubahan sikap yang dulunya pendiam, menjadi anak yang lebih terbuka untuk menyampaikan pendapat. Dari anak yang dulunya langsung tidur ketika sampai rumah, menjadi anak yang sekarang harus ganti baju seragamnya, cuci kaki-tangan baru tidur, dari anak yang dulunya belum menyadari esensi shalat menjadi anak yang berusaha memperbaiki shalatnya…dan hal-hal berharga lain yang sifatnya lebih kepada peningkatan kualitas kita sebagai makhluk sosial yang berbudi pekerti.

Progress-progress yang bersifat kuantitatif dan kualitatif tersebut tidak akan pernah terlihat signifikan di mata kita ketika kita membandingannya dengan orang lain. Dalam kasus Rania tersebut, sang Ibu tidak pernah merasa ada progress karena ibunya selalu melihat apa yang didapatkan teman-teman Rania. Itulah yang membuat penilaiannya menjadi tidak adil, padahal sebenarnya anak-nya telah berusaha membuat lompatan, dan anaknya tersebut berhasil membuat lompatan itu. Yang terjadi akhirnya adalah beliau tidak bisa mengapresiasi lompatan-lompatan yang telah dibuat anaknya sendiri.

Ini hanyalah contoh kecil yang lingkupnya baru pada tahap “nilai anak SD”. Di kehidupan kita, ada banyak persoalan lebih kompleks yang seringkali membuat kita menjadi merasa kecil dan always feel that The grass is always greener on the other side.

Contoh lain adalah soal pendidikan dan pekerjaan. Pernah merasa iri dengan teman yang gajinya 10 juta, padahal gaji kita Cuma 3,5 juta?. Pernah iri dengan teman yang bisa kuliah di Luar negeri, sementara kita Cuma mampu kuliah di dalam negeri dengan beasiswa?. J

Aku berasal dari desa. Pendidikan orang tuaku hanya SD. Dulu orang-orang selalu mengejek kalau aku hanya bisa lulus SMP. Sekarang aku lulus S1. Berapa lompatan yang aku buat?

Dulu modalku lulus kuliah hanya uang saku 500.000 untuk menyambung hidup satu bulan. Sekarang aku sudah bisa mendapatkan sendiri uang 3,5 juta per bulan dan menabung dengan nominal yang sama dengan modal awalku. Berapa tinggi lompatan yang aku ciptakan dari kondisi awalku?

Dulu aku Cuma bisa berbicara bahasa inggris di medsos. Sekarang aku berani berbicara dengan bule secara langsung. Berapa lompatan yang aku ciptakan?

Dulu aku shalat subuh jam 6.30. Sekarang aku tidak pernah ketinggalan shalat Subuh tepat waktu. Apakah ada peningkatan dalam diriku?

Pernah berada dalam kondisi ini?. Cobalah tenangkan diri sebentar. Cari cermin dimana kita bisa berkaca. Tersenyumlah sebentar sembari melihat diri kita beberapa bulan belakang ini. Kemarin aku seperti apa ya? Sekarang aku bagaimana ya?

Jika menemukan ada sesuatu yang meningkat dalam diri kita, maka tersenyumlah yang bahagia karena itu artinya hari-hari yang kita jalani semakin berkah dan bermanfaat. Ingatkah kamu, rasulullah SAW pernah berkata “ Tidaklah aku menyesali sesuatu seperti penyesalanku atas hari yang berlalu dengan tenggelamnya matahari. Semakin berkurang umurku, tetapi tidak bertambah amalanku”. Selamat ya jika harimu saat ini ternyata lebih baik dari harimu yang kemarin? J

Dengan cara yang sama, jika kita merasa bahwa ternyata saat ini kita stagnan. Tidak ada sama sekali kebaikan yang meningkat dalam diri kita, malah justru yang ada hanya penurunan, maka tersenyumlah lagi dan berjanjilah pada diri sendiri bahwa esok hari kita akan membuatnya menjadi lebih baik. Kita harus mencoba menepati janji pada diri sendiri dengan lebih disiplin. Saya ingat seorang Mohamad ali pernah mengatakan “ I hated every minute of training, but I said “Don’t quit, suffer now and live the rest of your life as a champion”. Jangan menyerah, teruslah belajar untuk meningkatkan kualitas kita. Insyaallah kita akan memetik buah yang manis nantinya.

Hmm.. jangan menganggap ini sebuah pembelaan saat kita tidak bisa berada di level yang sama dengan orang lain ya. Bukan itu tujuannya.

Tulisan ini saya buat untuk memberikan perspektif baru dalam menilai progress. Saya bisa mengatakan bahwa ada kalanya, standar bahagia orang lain itu ternyata tidak sesuai untuk diri kita. Sebaliknya, apa yang kita anggap ideal bagi kita, belum tentu ideal untuk membuat orang lain menjadi lebih bahagia hidupnya. Semua punya takarannya masing-masing, dan inilah PR kita untuk mencari : What makes me feel Happy?

Dan bagi saya,
kebahagiaan itu adalah perasaan ketika kita menemukan Tuhan dalam setiap pemberian.
Kebahagiaan itu adalah perasaan saat kita melihat diri kita saat ini lebih baik dari pada diri kita yang kita lihat kemarin…

Selamat menemukan…

Jangan lupa untuk berbahagia. Jangan lupa untuk menghargai dirimu sendiri.
Jika bukan kamu sendiri, siapa yang akan J

*Disclaimer : Nama tokoh dalam cerita ini bukan nama tokoh sebenarnya




Komentar