Bagaimana
perasaanmu jika kematian seolah-seolah berada di depan matamu?. Apa yang kamu
rasakan jika saat ini kamu sedang berada di ICU dan dokter pun bahkan sudah
pasrah dengan penyakit yang kamu derita?. Apakah kamu akan bergegas memohon
kepada Allah agar Dia menunda kematianmu?. Apa kamu akan sempat memikirkan
keadaan orang lain saat itu?. Kamu mungkin
akan sangat sibuk memikirkan dirimu sendiri. Jangankan memikirkan keadaan orang
lain, keadaanmu sendiri pun sudah sangat memprihatinkan. Di ujung tanduk!
Tapi
tidak demikian yang terjadi dengan orang yang akan saya ceritakan saat ini.
Sebut saja namanya mas Mulia. Selama kurang lebih tiga bulan ia merasakan sakit
yang aneh pada tubuhnya. Kadang demam, kadang tidak nafsu makan, dan kadang
merasakan sakit kepala yang luar biasa. Setelah diperiksa oleh seorang dokter
langganannya, beliau di diagnosis terkena Malaria yang sudah cukup kronis dan
sampai saat ini sang “pembawa” penyakit tersebut sudah memasuki sistem saraf
diotaknya. Ia tidak mempunyai opsi lain lagi, ia pun menerima anjuran dokter
untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Setelah sekian hari dirawat diruang
inap, kondisinya tak kunjung membaik. Justru bertambah parah. Dokter mengatakan
bahwa virus Malaria itu telah bersarang di organ tubuhnya yang paling penting,
otak. Virus itu tidak hanya berdiam diri, tapi sudah mengambil alih hampir
sebagian fungsi pengendali yang dimiliki otak. Mas mulia sempat kehilangan
kesadaran dan ingatannya selama kurang lebih 6 hari.
Menyadari
kondisi pasiennya yang semakin buruk, dokter memutuskan untuk melakukan
operasi. Pada saat hendak memasuki ruang ICU, mas Mulia dan rombongan
keluarganya melihat sekelompok suster dan beberapa orang yang juga terburu-buru
masuk ruang ICU. Mas Mulia melihat seorang wanita paruh baya yang berdiri di
pinggir tubuh pucat seorang laki-laki yang kepalanya terluka penuh darah.
Laki-laki itu ternyata adalah suami wanita tersebut. Tanpa berpikir panjang,
mas Mulia bertanya kepada saudara kembarnya “ Dek, tolong ambilkan uang Mas di
dompet, keluarkan semua isinya. Kamu punya uang berapa? Keluarkan juga
semuanya”, ucapnya dalam kondisi setengah sadar. Setelah semua uang
dikumpulkan, ia pun menyuruh saudara kembarnya untuk memberikan uang tersebut
kepada wanita paruh baya yang baru saja lewat tadi.
“Berikan
uangnya ke Ibu tadi untuk membayar biaya adminisrasi”, katanya pelan. Adiknya
tersebut bingung, namun tetap melaksanakan apa yang diminta oleh kakaknya. Sebelum operasi dilakukan, tim dokter
memberitahu keluarga mas Mulia tentang kondisi mas Mulia saat ini. “Kami akan
berusaha maksimal, tapi kami tidak bisa banyak berjanji karena kondisinya memang
sangat buruk. Hal yang paling buruk pun bisa saja terjadi setiap saat. Semoga
ibu mengerti. Mohon kelapangan hatinya”, kata salah seorang dokter kepada
ibunda mas Mulia. Sang Ibu hanya bisa menangisi putranya yang lemah tak berdaya
tersebut.
Operasi
yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu terasa sangat lama. Keluarga mas Mulia
menunggu dengan penuh kecemasan sembari menunggu sang dokter keluar untu
memberi kabar baik. Adik mas Mulia yang tadi disuruh mengambil uang pun nampak
terlihat sangat khawatir. Ia tidak habis pikir mengapa kakaknya masih sempat
memikirkan orang lain padahal kondisinya pun bisa jadi lebih parah dari orang
yang ia tolong. Selama ini ia memang sangat berbeda dengan kakaknya. Kakaknya
adalah orang yang sangat mempedulikan orang lain dan ini bukan pertama kalinya
ia menolong orang yang membutuhkan. Sementara ia merasa bahwa selama ini ia
sangat egois, ia tidak pernah mau memikirkan nasib orang lain, apalagi
menyempatkan diri untuk menolong mereka saat mereka berada dalam kesusahan.
Selang
beberapa lama, tim dokter yang bertugas pun mengatakan bahwa operasinya
berhasil. Keluarga mas Mulia sangat senang mendengarkan kabar tersebut, lantas
mereka segera beranjak menemui mas Mulia yang masih tergeletak lemas di ruang
operasi. Rupanya ia sadar. Ia pun tersenyum sembari bertanya kepada adiknya :
“Bagaimana kondisi pasien kecelakaan tadi siang?”, tanyanya. “Mas kan baru
pulih, jangan memikirkan hal lain dulu”, jawab sang Adik. “Bagaimana keadaan
beliau? Uangnya sudah diberikan?”, tanyanya lagi. “Tidak tertolong mas”, jawab
adiknya singkat. “Uangnya sudah diberikan. Rupanya mereka benar-benar orang
susah yang membutuhkan uang”, tambah adiknya. “Innalillahi wa inna ‘ilaihi
roji’uun…semoga uangnya berguna untuk mencukupi kebutuhan mereka setidaknya
untuk saat ini”, kata mas Mulia lirih.
Sang
adik merasakan tamparan keras berkali-kali pada keegoisan yang selama ini
bertahta dalam hatinya. Ia merasa sangat malu kepada kakaknya ini. Sang kakak
bukannya memikirkan kondisinya pasca operasi, namun justru menanyakan kabar
orang yang baru saja ia tolong. Apa yang
sedang ia pikirkan sebenarnya? Siapakah orang-orang yang ia tolong itu? Saudara
bukan…keluarga bukan…teman bukan…kerabat juga bukan. Melihat adiknya yang
bengong itu, mas Mulia hanya berkata dengan kalimat yang singkat namun lugas
“Kamu lihat? Allah telah memberikan balasan yang jauh lebih baik dari apa yang
Mas lakukan. Mas tidak tahu lagi bagaimana cara Mas berterimakasih kepada Allah
atas semua ini”
Sejak
operasi saat itu, mas Mulia kondisinya semakin membaik. Dalam beberapa hari
saja ia sudah bisa menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Ia juga sudah mulai
berangkat ke kantor. Kejadian yang dialami oleh mas Mulia membawa kesan yang
terdalam untuk adiknya. Kini adiknya menjadi sangat berbeda 180 derajat. Ia
tidak lagi egois, ia menjadi lebih peka dan peduli pada kondisi orang-orang
disekitarnya.
Kisah
ini hanyalah sebagian kecil dari “The power of giving”. Tidak hanya belajar
dari pengalaman orang lain, saya pun berkali-kali merasakan hal yang sama
ketika saya mau memberi dan mau peduli kepada orang lain. Saya mempunyai
seorang ibu yang kedermawanannya tidak bisa saya ragukan lagi. Beliau selalu
mengajari saya untuk berbagi dan peduli melalui keteladanannya sehari-hari.
Suatu ketika ibu mengatakan satu hal kepada saya : “Kamu harus menjadi orang
yang bermental kaya kelak. Belajarlah untuk menjadi kaya sejak dari sekarang.
Orang yang kaya adalah orang yang terbiasa memberi lebih banyak dari yang lain.
Lebih peduli dari yang lain. Dan lebih nyata tindakannya dari yang lain”.
Sebagai
anak kosan yang jauh dari orang tua, saya sering mengalami kehabisan uang
menjelang akhir bulan. Tapi saya adalah orang yang memiliki gengsi yang tinggi
untuk meminta orang tua sehingga meskipun uang saya hampir habis saya tidak
akan menelepon mereka untuk meminta uang. Saya ingat sekali, Allah itu sering
sekali menguji saya ketika saya tidak memiliki uang. Ada fenomena-fenomena
sosial yang Ia tunjukkan kepada saya ketika saya tidak memiliki uang. Ketika
saya memutuskan untuk mengalokasikan uang saya untuk menolong orang lain, Allah
selalu saja mengganti uang tersebut dalam waktu yang tidak lama. Tiba-tiba saja
saya dapat tawaran mengajar, tiba-tiba saja gaji ngajar saya turun, tiba-tiba
beasiswa turun, tiba-tiba ada teman membayar hutang, tiba-tiba jadi juara lomba
menulis dsb.MasyaAllah…saya begitu mengagumi Allah yang tidak pernah sedikitpun
mendiamkan hambaNya yang berbuat baik…
Saya juga ingat
peristiwa yang terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Saya mendapatkan ujian.
Laptop, dompet, semua ATM, uang dan semua gadget yang saya miliki raib dicuri
orang. Saat itu saya merasa benar-benar terpukul karena saya belum sempat
melakukan back up terhadap semua file penting yang ada di laptop. Di satu sisi
saya juga merasa sangat bersalah kepada orang tua karena saya tahu benar
bagaimana mereka berusaha membelikan laptop tersebut untuk saya. Akhirnya saya
hanya terus berpasrah dan berikhtiar…Saya semakin giat mencari uang dan saya
semakin giat untuk berinfaq. Hasilnya, kurang dari satu bulan saya bisa membeli
laptop, hp dan barang-barang saya yang pernah hilang tanpa campur tangan orang
tua saya. Mereka baru saya beritahu tentang musibah yang menimpa saya setelah
saya mengganti semuanya….
“The power of giving”
adalah investasi kita untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan memberi, kita
tidak akan pernah jatuh miskin. Dengan memberi, kita tidak akan pernah
dirugikan. Karena saat kita memberi, sejatinya kita tidak sedang melakukan
perbuatan baik kepada orang lain, tapi juga untuk diri sendiri.
Memberi adalah jalan untuk mendapatkan
pertolongan dari Allah :)
“ Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang
baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun” (Q.S. At
Taghaabun 16-17)
Komentar
Posting Komentar