“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumussalam, Nduk”,
jawab Bapak dengan begitu semangat dan ceria. “Kabare piye?. Sehat tho? Bapak
seneng kamu nelfon”. Mendengarkan perkataan beliau ini, rasa-rasanya hilang
sudah semua penat saya seharian.
Kami biasa mengobrol lama di
telepon. Bisa sampai sejam lebih.
Sepertinya ada semacam “koneksi hati” antara kami yang membuat kami betah
mengobrol lama-lama.
Saya biasanya menceritakan
kegiatan sehari-hari saya. Dan Bapak pasti bercerita tentang kabar di rumah.
Tentang adek, tentang mama…dan tentang sanak saudara yang ada di sekitarnya.
“Bapak…kala wau sampeyan tindak
pundhi? Kula nelfon boten diangkat-angkat? *Bapak tadi kemana, saya nelfon
berkali-kali kok gak diangkat?*. Tanyaku ingin tahu.
“Bapak baru pulang dari masjid
Nduk. Sekarang sehabis isya berjamaah ada pelajaran baca qurannya. Bapak ikut
program itu..jadi belajar alif ba ta’ dari awal”, jawab Bapak sembari tertawa
renyah.
“Ya meskipun sudah sangat
terlambat…tapi Bapak pengen belajar baca quran yang baik. Temannya banyak kok.
Orang-orang tua seumuran Bapak”, tambahnya,
Degggg. Hati saya bergetar. Ada
semacam ketenangan yang menjalar dalam ingatan saya tatkala mendengarkan
penuturan beliau.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sedari kecil, saya memang
tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat demokratis dan mendukung
impian-impian saya. Tapi ada satu hal yang mengganjal dalam kehidupan masa
kecil saya saat itu. Saya memiliki keluarga yang tidak “terkondisikan dengan
baik” dalam ibadahnya sebagai muslim. Bapak yang saat saya SD begitu rajin
beribadah,tiba-tiba berubah mulai jarang shalat dan pernah dalam kondisi tidak
shalat bertahun-tahun hingga saya kuliah.
Saya sangat sedih dengan
kondisi ini. Saat teman-teman saya yang lain bisa merasakan shalat di rumah di
pimpin ayahnya, saya hanya bisa mengimajinasikan itu dalam pikiran.
Rasa-rasanya saya tidak boleh berekspektasi terlalu jauh. Saya hanya bisa
berdoa saat itu..supaya kedua orang tua saya, terutama Bapak, bisa dibukakan
hatinya oleh Allah. Hingga kami sekeluarga bisa menjadi keluarga yang dicintai
Allah karena senantiasa memuliakan rumah dengan ibadah terbaik pada Allah.
Saya kecil begitu semangat
menyuruh Bapak shalat. Apapun saya lakukan. Membelikan Bapak kopyah, koko,
sajadah..dan buku panduan shalat dengan tabungan yang saya kumpulkan susah
payah. Tapi usaha itu tidak berhasil. Bapak hanya mengatakan hal yang sama tiap
saya ajak shalat
“Nanti Bapak juga akan shalat
ketika sudah tenang”.
“Justru Pak, kalau mau tenang
kita harus memlihara shalat kita”, balasku.
Kamu gak tau Nduk….doakan saja
supaya Allah membukakan hati Bapak”, jawab Bapak
Jika Bapak sudah menjawab
seperti itu, biasanya saya hanya diam dan mendoakan. Saya berjanji pada diri
sendiri bahwa saya akan menjadi “sesuatu yang bisa Bapak banggakan”. Sehingga
Bapak akan mendengarkan suara saya. Saya akan punya bargaining position yang
kuat ketika mengajak bapak nantinya. Itulah hal sederhana yang saya pikirkan
saat itu.
Saya benar-benar menjalankan
misi saya. Di sekolah, saya selalu belajar dengan giat. Mungkin saya kehilangan
banyak waktu bermain saya saat itu. Tapi saya tidak pernah menyesal melaluinya.
Dari SD hingga SMA saya selalu mendapat ranking 1. Dengan hasil itu, saya bisa
memastikan bahwa Bapak akan berjalan bangga saat mengambilkan rapor.
Ketika selesai mengambil rapor,
para orang tua akan mengatakan pada anak-anaknya yang masuk 5 besar di kelas.”Kamu
sudah berhasil mendapat rangking 3 nih. Mau dibelikan apa?”, begitulah
kira-kira mereka menawarkan hadiah pada anak-anaknya. Ada yang menjawab minta
sepatu baru, sepeda baru, gelang emas, handphone, minta diajak jalan-jalan dan
sebagainya.
Tidak dengan saya. Orang tua
saya tidak pernah menawarkan hadiah. Oleh karena itu saya yang biasanya aktif
meminta pada Bapak.
“Bapak, aku kan ranking satu terus. Boleh minta sesuatu?, tanyaku.
“Mau
minta apa memangnya. Kalau Bapak ada uang, nanti Bapak belikan”.
“Aku Cuma mau Bapak shalat.
Kita bisa shalat bareng di rumah ya tiap hari”.
Bapakpun hanya diam.
Dan seterusnya.
Saya tidak lelah berusaha untuk
lebih meyakinkan Bapak. Saat kuliah, saya mendapat beasiswa penuh dan menjadi
mapres. Meski saya harus jatuh bangun untuk mendapatkan achievement-achievement
itu, saya tetap bersemangat untuk menciptakan hal yang lebih lagi. Tiap kali
saya lelah dan merasa ingin mundur, saya berusaha mengingat-ingat lagi Bapak. “Ingat Rosi, kamu
harus membuat Bapak (dan mama) bangga”. Rasa-rasanya dengan begitu saya menjadi
kuat melangkah lagi.
Saya sempat menyerah untuk
membujuk Bapak agar shalat karena hingga saya lulus kuliah pun Bapak masih
belum shalat. Saya sedih sejadi-jadinya. Saya sering menangis saat mengikuti
kajian-kajian dimana narasumbernya sering berkata :
“Amalan manusia yang pertama
kali dihisab di hari akhir nanti adalah SHALAT”
“Yang membedakan muslim dari
kafir adalah di shalatnya”
Ada semacam sesak yang tidak bisa
saya bendung tatkala mendengarkan pemaparan pembicara-pembicara itu. Saya
ingat Bapak.
Meski Bapak tidak shalat, tapi
saya bersaksi bahwa Bapak tidak pernah meninggalkan kewajibannya yang lain.
Bapak selalu puasa ramadhan..selalu berzakat…tidak musyrik…dan selalu membina
hubungan baik dengan tetangga. Bapak adalah orang yang sangat baik di keluarga
dan di masyarakat. Jadi saya tidak rela jika Bapak menjadi golongan yang kafir
hanya karena shalatnya.
Di tengah-tengah keputus asaan saya,
di penghujung akhir 2014, Allah memberikan kado yang begitu indahnya pada kami
sekeluarga.
Kami mendapat cobaan yang amat
berat saat itu. Adik saya kecelakaan parah. Saking parahnya, orang-orang
mengira bahwa adik meninggal di tempat kejadian.
Kami sangat terpukul dengan
kejadian ini. Sebulan di rumah sakit kami bahu membahu saling menguatkan agar
adik bisa segera sembuh dan kembali seperti semula. Musibah ini tidak hanya
menimbulkan tekanan pada jiwa kami,tetapi juga menimbulkan beban biaya yang
besar. Intinya sudah “habis-habisan” lah kami dibuatnya.
Tapi saya bisa menyebut musibah
ini sebagai kado terindah dari Allah karena apa yang terjadi setelahnya.
Setelah adik pulang dari RS,
adik sempat kehilangan kontrol atas emosi dan logikanya. Sering
teriak-teriak..sering marah tanpa alasan..banyak murung..tidak nyambung saat
diajak bicara dan bahkan adik sempat mengalami masa-masa amnesia “lupa pada
Bapak..mama…dan anggota keluarga yang lainnya”
Di tengah-tengah kondisi itu.
Pada suatu sore adik menangis minta diantarkan ke kamar mandi. Kami semua merasa aneh saat itu. Dan hal yang
membuat saya tercengang adalah adik wudhu. Ia kemudian mengambil sajadah dan shalat tanpa melupakan jumlah
rakaat shalat dan bacaannya.
Di penghujung maghrib. Adik
merengek agar Bapak mau shalat dan menjadi imam shalat kami.
Dengan kondisi adik yang masih
sakit seperti itu, Bapak tidak bisa menolak.
Itulah kali pertamanya kami
shalat berjamaah di rumah.
Kami merasakan ketenangan dan
kekhusyukan yang luar biasa dalam setiap gerakannya.
Saya melihat mama dan bapak
terisak tangis dalam doanya.
Kado ini tidak bisa dinilai dengan besaran mata uang apapun.
Kado ini adalah : memiliki kesempatan untuk menjalankan ketaatan bersama orang-orang yang kita
cintai :)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak peristiwa itu, Bapak banyak
berubah.
Bapak semakin semangat belajar
Islam. Membaca-baca kembali buku-buku yang dulu saya berikan. Rajin ikut kajian
di masjid. Dan selalu mendirikan shalat-shalat di awal waktu.
“Hidup Bapak sekarang lebih
tenang”, itulah yang beliau katakan kemudian.
Bapak semakin memperbaiki
dirinya. Bahkan saya kadang malu, karena saya yang masih muda seringkali kalah
semangatnya dengan Bapak yang sekarang.
Bapak tidak malu bertanya soal
fikih ke pembicara kajian. Bapak tidak malu belajar mengaji lagi dari iqra. Dan
bapak makin peduli dengan urusan ibadah dan muamalah.
Sungguh.
Inilah yang saya sebut kado
terindah.
“Saat kita menemukan Allah dan
menempatkan Allah dalam tiap urusan”.
Terimakasih Bapak, telah mau
belajar.
“Kita tidak bisa memilih
bagaimana kita dilahirkan. Tapi kita memiliki kesempatan untuk menentukan
bagaimana kita akan berakhir. Apakah berakhir dengan kecintaan Allah..atau
justru murkanya Allah”.
Ayo Pak..kita sama-sama
belajar, menguatkan keimanan dan menetapi kesabaran.
Semoga kita bisa memenangkan
tiap ujian ini Pak…dan kebaikan menjadi ujung dari setiap urusan kita. Aamiin.
Dan bagi teman-teman yang punya jalan cerita seperti saya, selalu berdoa sama Allah ya. Karena hati manusia ada di genggamannya Allah. Hidayah milik Allah. Dan kita harus makin semangat untuk menyebarkan kebaikan-kebaikan sebagai representasi bahwa kita adalah hamba Allah yang pandai bersyukur.
Dari seorang anak yang sedang berjuang mengerjakan thesis,
Dan bagi teman-teman yang punya jalan cerita seperti saya, selalu berdoa sama Allah ya. Karena hati manusia ada di genggamannya Allah. Hidayah milik Allah. Dan kita harus makin semangat untuk menyebarkan kebaikan-kebaikan sebagai representasi bahwa kita adalah hamba Allah yang pandai bersyukur.
Dari seorang anak yang sedang berjuang mengerjakan thesis,
Laboratorium Riset S3 SF ITB,
Sabtu, 8 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar