“Dik Ros,...”, kata seorang kakak suatu ketika.
Dengan sedikit menarik napas dan menata kata, ia melanjutkan “Aku berhutang budi padamu. Aku harus
mentraktirmu, setidaknya untuk sekadar makan bersama”.
Beliau
saat ini duduk satu semester di bawah saya di Farmasi. Setahun yang lalu,
kurang lebihnya, ia pernah menghubungi saya melalui pesan pribadi di facebook.
Melalui
pesan facebook itu, konon, beliau mengabarkan bahwa beliau sudah di terima di
jurusan sama dengan saya, hanya saja beliau tidak bisa langsung mengambil
karena mengalami kesulitan dalam pembiayaan. Beliau segera mengucapkan
maksudnya untuk bertanya soal beasiswa yang saya terima saat itu.
Saya
tidak mengenal beliau sebelumnya. Hanya mungkin sesekali melihat namanya dalam notification like saat saya share info tentang beasiswa. Rupanya
itulah awal Allah menakdirkan kami untuk saling mengenal dan berbagi.
“Jika tidak keberatan, bolehkah saya
meminta contoh esai-esai dan berkas lain saat melamar beasiswa itu?”, kata beliau to the point setelah kami sama-sama berkenalan.
Saya
hanya terdiam sebentar. Menimbang-nimbang.
Bagi
saya, esai-esai yang saya tulis adalah pengalaman hidup pribadi saya. Berisi
tentang perjuangan-perjuangan, prestasi, dan impian-impian saya selama ini.
Karena hal-hal yang bersifat pribadi itulah, saya menganggapnya sebagai bentuk privasi
yang harus di lindungi. Bukannya tidak mau berbagi, tapi saya hanya tidak ingin
hal-hal pribadi saya diketahui orang lain. Saya tidak mau orang lain tahu jatuh
bangun dan pahit-pahitnya perjuangan saya, kemudian mereka mengasihani saya.
Sesederhana itu.
Saya
tidak langsung mengiyakan permintaan kakak itu. Baru pagi harinya, beberapa
puluh jam setelah si kakak meminta, saya mengirimkan esai-esai dan berkas lain
yang dibutuhkan ke email, dengan pesan khusus : “mohon tidak disebarkan ke yang lain karena ini bagian dari privasi
saya. Semoga dilancarkan urusanya”, demikian kurang lebihnya.
Ya,
akhirnya saya memutuskan untuk berbagi cerita dengan kakak itu. Ada semacam kekuatan
yang mendorong saya untuk membantunya. Mungkin dorongan itu adalah dorongan
“rasa senasib sepenanggungan”. Saya pernah berada dalam kesulitan yang dia
alami, jadi saya ingin dia bisa juga keluar dari kesulitan itu. Begitulah saya
berpikir.
Singkat
cerita, si kakak gagal apply di
beasiswa yang sama seperti saya, kemudian esai-esai saya beliau pelajari dan
gunakan untuk apply beasiswa lainnya
dan alhamdulillah, dia berjodoh dengan beasiswa itu. Dan saat ini dia bisa
berada di depan saya, mencari ilmu di tempat yang sama dengan saya.
“Sekali lagi terimakasih ya. Kalau gak
ada kamu, mungkin saya tidak bisa berada disini”, “kalau saja kamu tidak
membantu saya, mungkin saya tidak akan mendapatkan beasiswanya”, lanjutnya mengulangi.
Astaghfirullahaladzim...
Ini
ujian.
Sungguh
ini ujian. Kalimat-kalimat beliau adalah ujian yang Allah berikan untuk menguji
mental saya sebagai manusia ringkih yang bisa dengan sangat mudah merasa
“berjasa atas hidup orang lain”.
Segeralah
terpikir satu kalimat pembalas yang saya ucapkan tanpa saya sadari sepenuhnya
“Aku cuma perantara Mbak”. Bersambung dengan pernyataan lain “Apa yang mbak
dapet itu memang rejeki mbak dan Allahlah yang memberi. Aku hanya perantara”.
Ada
semacam rasa lega yang saya dapatkan ketika mengucapkan kalimat tersebut.
Secara
tidak langsung, saya telah berusaha berbicara dengan diri sendiri, dan mencoba
mengalahkan ego-ego pribadi saya :
“Ingat Rosita, kamu itu cuma perantara.
Jangan merasa berjasa”
“Ingat Rosita, rejeki sudah tertakar,
tidak mungkin tertukar. Dia dapet seperti itu karena memang rejekinya dia.
Bukan karena kamu yang heroik bantuin”
“Ingat Rosita, siapa yang menggerakkan
hati kamu untuk membantu dia?. Yakin kalau tiba-tiba aja? Atau jangan-jangan
Allah yang milih kamu jadi perantaranya?. Buat apa kamu sombong merasa
“berjasa”?
Ini
semua saya lakukan agar saya bisa terus berbuat baik ke orang lain, tanpa
berharap agar orang lain itu berterimakasih pada saya. Karena sekalinya saya
berharap “terimakasih”, saya telah terjebak pada apa yang disebut sebagai
“tindakan transaksional” : kamu memberi apa, kamu akan mendapatkan setimpal
dengan itu semua.
Tidak.
Kebaikan
bukanlah hal yang patut dianggap sebagai jual beli/hal-hal transaksional.
Kebaikan itu anugerah.
Kebaikan
adalah rasa indah yang Allah berikan pada hati kita tatkala kita tergerak untuk
menolong orang lain. Dan tidak setiap
jiwa mampu merasakannya.
Sekalinya
bisa berbuat baik, harusnya kita bersyukur. Bahwa Allah masih mempercayai kita
sebagai salah satu “tanganNya”, salah satu “peratara kasih sayangNya pada
makhluk”. Jadi tiap kali berbuat baik, cukup
lakukan dengan usaha terbaik, dan lupakan.
Iya.
Melupakan...
dalam
berbuat baik, tahap “melupakan kebaikan” itu penting.
Agar
hati kita tenang setelahnya.
Agar
hati kita tidak mudah kecewa atas ekspektasi kita yang berlebihan pada orang
lain.
Agar
setelahnya kita bisa dengan lirih dan yakin berkata pada diri sendiri
“Ya Allah...ini usaha terbaikku dalam
menyambut peluang berbuat baik darimu. Semoga Engkau ridha atas ini semua...”
Cukup.
Itulah
yang saya coba terapkan selama ini pada apa-apa yang saya lakukan ke orang
lain. Jika saya berhasil mempertemukan orang lain dengan jodohnya, ya saya mah
cuma perantara. Jika saya berhasil menggalang dana sesuatu untuk menolong orang
lain, ya saya mah cuma perantara. Jika saya berhasil meringankan urusan orang
lain, ya saya mah cuma perantara.
“Saya mah cuma perantara...dan saya
bersyukur masih bisa merasakan menjadi perantara kebaikannya Allah. Cara kamu
berterimakasih pada saya, adalah dengan terus melanjutkan kebaikan ini. Dengan
menolong orang lain yang mungkin punya nasib yang sama denganmu”.
Dengan
begitu...kebaikan ini akan terus mengalir.
Ia
tidak pernah berhenti hanya sampai di kita.
Adakah yang lebih indah daripada kebaikan
yang terus dialirkan?
Bandung,
19 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar