Tulisan ini saya buat sebagai refleksi
dari beberapa pro kontra yang acapkali dijadikan perdebatan antar wanita.
Sebagian wanita ingin menjadi wanita karir dengan deskripsi “wanita berpakaian
ala eksekutif yang suka berangkat pagi dan pulang petang”, dan sebagian lagi
ingin menjadi ibu rumah tangga saja, dengan deskripsi “wanita yang memilih di
rumah saja, mengurusi anak dan suami serta pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
lainnya”.
Seorang teman pernah menanyakan kepada
saya terkait pendapat saya dengan dua peran wanita yang digambarkan seolah-olah
hal yang sangat berlawanan tersebut. Saya tidak terlalu tertarik dengan topik ini,
sungguh. Karena bagi saya, setiap wanita punya medan perangnya masing-masing.
Saat kondisi memungkinkan ia menjadi ibu rumah tangga 100%, tentu ia akan
lebih memilih menjadi ibu yang hanya mendedikasikan dirinya di rumah.
Sebaliknya, jika kondisi membuatnya harus bekerja di luar rumah -turut membantu
suami dalam mewujudkan kemandirian finansial- juga adalah hal yang tidak salah
menurut kacamata saya. Kan sudah saya bilang di awal, setiap wanita punya medan
perangnya masing2 :)
Lalu bagaimana dengan saya?
Seperti mimpi wanita-wanita lain, saya
ingin menjadi ibu rumah tangga. Tetapi tunggu dulu, saya memakai definisi yang
agak sedikit berbeda dari definisi pada umumnya. Suami saya kelak bisa saja
menyuruh saya untuk menjadikan keluarga sebagai prioritas utama, tentu saja
saya akan menerimanya, bahkan saya akan melakukannya tanpa ia meminta. Tetapi
perlu diingat bahwa konsep menjadikan keluarga sebagai prioritas utama itu
bukanlah hal yang bertentangan dengan menjadi sebaik-baik manusia yang
bermanfaat bagi banyak orang. Saya mau jadi ibu rumah tangga, tetapi saya tidak
mau menjadi ibu rumahan.
Setiap dari kita (jika Allah
memberikan kesempatan) akan menikah. Siapa sih yang gak mau nikah? Hehe. Kalau
kata Rasulullah menikah itu sama artinya dengan “menggenapkan separuh agama”,
secara logika bukankah seharusnya ada sesuatu yang meningkat dalam diri kita?.
Lha wong awalnya cuma separo trus digenapkan sama separo lagi sehingga menjadi
utuh dan penuh. Ada separo milik saya yang saya berikan kepada (calon) suami saya, dan ada
separo milik (calon) suami saya yang ia berikan untuk saya. Separo ditambah
separo sama dengan satu atau “utuh”. Hasil dari penjumlahan itu digunakan
bersama-sama dan masing-masing pihak dapat merasakan manfaatnya. Dalam ilmu
kimia (ciee), kita mengenal adanya ikatan kovalen dimana agar mencapai
kestabilan, suatu unsur akan berikatan dengan unsur lain dengan cara saling
memberikan electron dan menggunakannya bersama-sama. Tidak peduli apakah yang
satu menyumbang lebih banyak, atau yang lain menyumbang lebih sedikit. Intinya
mereka saling memberi satu sama lain.
Mengapa saya memulai dengan logika
tersebut?. Ya, karena saya sedih apabila setelah menikah justru kita tidak
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kualitas ibadah makin menurun, kontribusi
sosial makin menurun, waktu untuk orang tua sering terlupakan, mimpi yang ingin
diwujudkan malah justru tidak di tindak lanjuti, dan lain-lain. Semuanya
terjadi hanya karena kita begitu terlena dengan romantika bersama pasangan
masing-masing. Apakah menikah mempunyai makna sesempit itu? (ketika dua orang
yang saling mencintai menghabiskan waktu bersama untuk memadu kasih dan
membuktikan rasa cinta mereka satu sama lain)?.
Saya selalu diajari oleh orang tua
bahwa saya harus bisa menciptakan generasi yang lebih baik dari saya. Yang
pendidikannya lebih baik, yang kualitas keimanannya lebih baik, yang
kontribusinya lebih banyak dan yang memiliki semangat untuk terus menerus
memberikan manfaat bagi sekitar. Tentu hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah,
saya harus mau bekerja keras dan meluangkan waktu untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Mengurus rumah tangga, menemani anak dalam setiap fase
pertumbuhannya, melayani pasangan, dan bukan tidak mungkin adalah : menjadi
pelayan bagi masyarakat.
Jadikan aku sebagai rumah tangga,
tetapi jangan jadikan aku sebagai ibu rumahan.
Suatu saat nanti, ketika saya sudah
memiliki keluarga, saya ingin mengabdikan diri saya untuk keluarga saya namun
tetap melakukan hal-hal yang saya sukai. Saya ingin menjadi seorang pendidik
sejak saya kecil dan saya akan terus berjuang agar saya bisa mewujudkannya.
Saya ingin membagi ilmu yang saya punya kepada banyak orang, saya ingin terus
belajar, dan saya ingin terus berkarya dengan semua hal yang saya pelajari
selama ini. Saya ingin memperjuangkan kegiatan-kegiatan sosial dengan basis
utama anak-anak sehingga saya akan sering terjun ke masyarakat, dengan demikian
saya tidak hanya bermanfaat bagi keluarga saya sendiri tetapi juga bagi orang
lain. Jika saya bisa menciptakan lebih banyak manfaat bagi masyarakat, kenapa
saya hanya di rumah saja?
Kegiatan di rumah yang menyita waktu
itu adalah kegiatan rumah yang menurut saya bisa dialihkan ke orang lain.
Mencuci, membersihkan rumah, memasak, menyetrika dan sebagainya adalah
pekerjaan yang bisa diakali dengan menggunakan jasa orang lain, sehingga kita
bisa punya lebih banyak waktu untuk berkegiatan sosial. Tetapi perlu diingat
bahwa menemani tumbuh kembang anak, mendidik mereka dengan value yang baik,
memberikan teladan bagi anak, dan menjadi tempat anak untuk bercerita adalah
tugas pokok orang tua sehingga tidak bisa dialihkan kepada yang lain. Demikian
halnya dengan menjadi parter yang menguatkan gerak pasangan dalam berbuat
kebaikan dan menemaninya dalam mewujudkan cita-citanya. Anda paham kan maksud
saya? Hehe….
Saya pikir, kalau kita bisa memanajemen waktu dengan baik, insyaAllah semua akan menjadi terkendali. Kewajiban kita di rumah beres, kewajiban kita terhadap masyarakat juga beres.
Saya ingin mengeksplor lebih banyak fenomena sosial yang ada di sekitar saya, oleh karena itu saya tidak akan membiarkan saya dan anak-anak saya nantinya hanya berdiam diri di rumah. Saya ingin mengajak mereka melihat ke luar, mengamati dengan mata kepala mereka sendiri bahwa mereka harus bersyukur dengan apa yang mereka dapatkan saat ini, dan mereka harus melakukan sesuatu untuk membantu saudara-saudaranya yang tidak seberuntung mereka, dengan hal sekecil apapun. Saya tidak ingin anak-anak saya nantinya tumbuh sebagai anak cuek yang tidak memiliki kepekaan sosial, egois dengan kepentingannya sendiri, tidak bersyukur, dan pasif dalam mencipta perubahan. Saya ingin mengajak mereka belajar dari sekitar. Tidak hanya dari segi sosial, tapi dari segi kecakapan hidup. Misalnya mengajak anak-anak ke pengrajin tempe supaya anak-anak tahu proses membuat tempe, mengajak ke tempat pembudidayaan ikan supaya anak-anak tahu bagaimana memelihara ikan, mengajak mereka ke pengusaha batik supaya mereka tahu tentang budaya, mengajak mereka ke tempat-tempat para wirausahawan agar mereka mengenal seni berbisnis sedari dini..wkwkwk. Ya, saya akan memfasilitasi anak-anak saya agar mereka tumbuh sebagai socialentrepreneur ...hahaha
Saya pikir, kalau kita bisa memanajemen waktu dengan baik, insyaAllah semua akan menjadi terkendali. Kewajiban kita di rumah beres, kewajiban kita terhadap masyarakat juga beres.
Saya ingin mengeksplor lebih banyak fenomena sosial yang ada di sekitar saya, oleh karena itu saya tidak akan membiarkan saya dan anak-anak saya nantinya hanya berdiam diri di rumah. Saya ingin mengajak mereka melihat ke luar, mengamati dengan mata kepala mereka sendiri bahwa mereka harus bersyukur dengan apa yang mereka dapatkan saat ini, dan mereka harus melakukan sesuatu untuk membantu saudara-saudaranya yang tidak seberuntung mereka, dengan hal sekecil apapun. Saya tidak ingin anak-anak saya nantinya tumbuh sebagai anak cuek yang tidak memiliki kepekaan sosial, egois dengan kepentingannya sendiri, tidak bersyukur, dan pasif dalam mencipta perubahan. Saya ingin mengajak mereka belajar dari sekitar. Tidak hanya dari segi sosial, tapi dari segi kecakapan hidup. Misalnya mengajak anak-anak ke pengrajin tempe supaya anak-anak tahu proses membuat tempe, mengajak ke tempat pembudidayaan ikan supaya anak-anak tahu bagaimana memelihara ikan, mengajak mereka ke pengusaha batik supaya mereka tahu tentang budaya, mengajak mereka ke tempat-tempat para wirausahawan agar mereka mengenal seni berbisnis sedari dini..wkwkwk. Ya, saya akan memfasilitasi anak-anak saya agar mereka tumbuh sebagai socialentrepreneur ...hahaha
Ngomong-ngomong soal ibu rumahan, saya sering diejek teman-teman : “aktivis
kayak elu mana bisa masak?”, saya hanya tersenyum kecil sembari berkata dalam
hati “saya sudah memasak untuk keluarga saya sejak saya masih 9 tahun, buat apa
saya pamer kemampuan masak saya ke kalian?” wkwkwk. Atau mungkin ada yang nyeletuk “Ah gak romantis banget kalau kegiatan nyuci bajunya bakal kamu limpahkan ke pembantu”, “Oke,
baju saya dan anak saya akan dicucikan pembantu, tapi baju suami saya biarkan
saya sendiri yang mencucinya” wkwkwk. Atau mungkin “Ya elaaah, nyetrika doang
masak musti pembantu lagi?”. “Apa yang salah? Ya woles aja, saya kalau nyetrika
saya butuh waktu ber-jam-jam, daripada buang-buang waktu yaa mending bayar
orang trus saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk sharing dan diskusi
bersama anak dan suami” wkwkwk…Ayo mau tanya apalagi? Hahaha. Sudah saya katakan, apa yang bisa dikerjakan ya dikerjakan saja, apa yang gak sempat dikerjakan ya tinggal dialihkan pada orang lain..Let's make it simple.
Jangan membenturkan hal-hal yang tidak
saling bertentangan ya :)
Menjadi ibu rumah tangga itu bagus..
Menjadi wanita karir itu bagus..
Menjadi apapun dirimu, itu bagus..
Tapi keluargamu membutuhkan peranmu untuk menjadi baik..
Tapi masyarakat membutuhkan kontribusimu untuk memperbaiki keadaan
sekitar..
Tapi agamamu membutuhkan kepedulianmu untuk membuat dakwahnya
semakin berjaya..
Tidakkah kamu menginginkannya?
:)
Komentar
Posting Komentar