Tulisan ini saya buat untuk saya sendiri
dan teman-teman yang mungkin merasa pernah terkena sindrom yang akan saya bahas
ini. InsyaAllah, saya tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Saya menulis
ini sebagai bahan evaluasi kepada diri saya sendiri.
Ada salah satu ayat dalam Alquran yang
menurut saya harus saya hafalkan baik-baik, tidak hanya diotak saya, tetapi
juga dalam hati saya yang paling dalam. Ayat ini merupakan dasar bahwa harus
ada kecocokan pada diri setiap Muslim –Antara apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan-. Dan semoga ayat ini senantiasa mengingatkan saya dalam setiap
lembaran-lembaran perjalanan yang siap untuk saya tuliskan, sehingga kelak saya
tidak sekadar menjadi orang yang hanya pandai menulis dan berbicara, tetapi
saya juga menjadi orang yang bisa diteladani dari apa yang telah saya perbuat.
Aamiin ya Rabb..
Q.S. Ash Shaff [61] : 2-3
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”. Amat besar kebencian disisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”
………………………
Suatu hari, teringat oleh saya materi
halaqoh yang disampaikan oleh Bang Arief Munandar. Sore itu beliau menceritakan
tentang bagaimana beliau berusaha untuk selalu datang menghadiri liqo (baca :
pertemuan rutin untuk mempelajari Islam secara keseluruhan). Beliau bercerita dengan
penuh emosional dan hampir berkaca-kaca matanya, kami pun yang mendengarkan
seperti orang yang sangat hina, malu kepada Allah.
Bang Arief bercerita bahwa suatu hari
beliau sedang sakit tyfus. Kondisi saat itu hujan turun sangat deras. Kalau
tidak salah beliau belum tinggal di Kelapa Dua, tapi di daerah Jakarta (saya
lupa Jakarta mana) dan tempat liqo beliau berada di suatu daerah yang lokasinya
jauh dari beliau tinggal. Karena sudah mendekati jam liqo, murabbi beliau
(murabbi : pemberi materi) hari itu menelepon beliau dan menanyakan posisi
beliau. Kalau tidak salah, beginilah percakapannya :
Murabbi : “Rief, ente ada dimana?”
Bang Arief : “Ane lagi sakit bang, hujan
turun deras disini. Ane sempoyongan kalau naik motor.”
Murabbi : “Rief, ente masih bisa
berdiri?”
Bang Arief : “Masih Bang”
Murabbi : “KALAU BEGITU, PESAN TAKSI
SEKARANG JUGA. NAIK TAKSI SAJA. NANTI ANE YANG BAYARIN TAKSINYA”
Bang Arief pun berangkat menggunakan
taksi ke tempat beliau liqo dalam keadaan sakit dan kondisi hujan yang begitu
derasnya.
Selama mengisi materi di ILDP, value
itulah yang selalu beliau tekankan kepada kami. “Jangan manja, kalau sakit cuma
sekadar diare atau pusing2 aja gak pantes banget bilang ijin. Kalau ada
anak-anak UISDP yang ijin gara2 sakit (mau panas, pusing-pusing, *maaf*
mencret), jangan pernah diterima ijinnya. Keluarkan saja dari UISDP”, begitulah
beliau mengajari kami.
Pelajaran ini selalu akan saya
ingat-ingat dalam hidup saya : “Jangan sekali-kali menjadi orang cengeng yang terlalu
mengasihani diri sendiri”
Tentu akan sangat menarik jika saya
bahas disini, karena selama saya terlibat dalam sebuah organisasi, saya
seringkali mendapati kejadian-kejadian serupa dimana ada orang-orang yang suka
meminta ijin, yang kalau menurut saya alasannya kurang logis “Afwan, saya lagi
sakit”. “Sakit tapa?”, “Pusing”. Kalau saya mau pake cara murabbi bang Arief,
mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama “Kamu masih bisa berjalan?.
Masih kuat berdiri? Kalau gitu, kamu pesan taksi atau panggil ojek sekarang ya,
nanti saya bayari ojeknya”.
Kita tentu tidak bisa begitu saja
memaksa orang lain untuk bersikap seperti kita, karena bagi saya : merubah
orang lain itu bukan persoalan yang mudah, lebih mudah untuk merubah diri
sendiri.
Saya ingin mengajak para pembaca notes
saya ini untuk sama-sama berintrospeksi. Silahkan pikirkan baik-baik pertanyaan
ini :
1.
Apa benar selama ini saya sudah
mengoptimalkan diri saya dalam berusaha?
2.
Apa benar jika ridha Allah adalah tujuan
terakhir yang ingin saya capai?
3.
Apakah selama ini saya sudah berusaha
untuk tidak merugikan orang lain?
4.
Apakah selama ini saya sudah benar-benar
menghargai waktu yang saya punya untuk melakukan amanah-amanah yang diberikan
kepada saya?
Kadang-kadang saya merasa seperti orang
kerdil yang tidak ada apa-apanya saat saya menggunakan waktu saya untuk
memikirkan hal ini. Saya begitu malu kepada Allah dengan segala
“ketidakoptimalan” usaha yang saya lakukan. Kalau bukan karena kasih sayang
Allah yang luar biasa, tentu saya tidak akan bisa sampai pada titik ini.
Kita selalu menuntut kepada Allah ini
dan itu, tapi kadang kita lupa bahwa ada hak-hak Allah yang belum kita tunaikan
dengan baik. Kita begitu terlena tatkala kita berada dalam kondisi yang serba
mengenakkan tapi kita sering lupa bahwa roda kehidupan pasti akan terus
berputar, kita tidak akan selamanya berada di atas.
Waktu.
Terkadang kita begitu saja
melalaikannya..
Janji jam 8, kita baru jalan dari rumah
jam 8 juga. Bukankah kita bisa berangkat jam 7 atau setengah 8 supaya tidak
merugikan orang lain?
Adzan sudah berkumandang, tapi kita
selalu bungkam dengan segala rutinitas yang belum selesai. Kita seperti orang
yang lupa diri kita siapa, kita sering bingung menentukan prioritas :
sebenarnya mana yang lebih penting? Shalat tepat waktu atau menyelesaikan dulu
pekerjaan ini?
Tugas kuliah sering dikumpulkan dengan
kualitas apa adanya…Kita sering lupa bagaimana susahnya diterima di kampus
sebagus ini. Waktu sebulan yang diberikan dosen selalu kita anggap kurang,
padahal kita baru saja mengerjakan tugas itu beberapa jam yang lalu.
Dimanakah
letak keoptimalan kita dalam berusaha?
Jangan
terlalu mengasihani diri sendiri J
Boleh tanya, bagaimana orang yang selalu menangis di depan orang lain dan berkata saya sangat menyedihkan kondisinya dan menceritakan kondisinya dengan sangat rendah hati. Seperti selalu berupaya membuat kita iba padahal kondisi baik ekonomi maupun keluarganya jauh lebih baik dari kita (buat perawatan & beli baju mahal sanggup tapi masih minta hibah utk yg lain), jujur kesel liatnya tapi harus diapain bingung
BalasHapusOrang itu mungkin sedang mengalami depresi berat, hal ini membuat seseorang kehilangan jati dirinya, bahkan juga dapat menurunkan kualitas hidup si penderita, salah satu cirinya ya itu apapun yang ada padanya akan terlihat tak berarti lagi bagi mereka yang cenderung mati rasa dan selalu merasa putus asa, jika menemukan orang dengan kondisi seperti itu tolong sarankan saja agar mereka pergi berobat ke psikiater, semoga membantu..
Hapus