Kemarin saya tiba-tiba nangis setelah
melihat buku tesis saya selesai dijilid di tempat fotokopian. Mungkin ini
berlebihan atau lebay. Tetapi entahlah, saya begitu haru-biru mengingat-ingat
betapa Allah sangat menyayangi saya selama ini. Perjuangan selama kurang lebih
satu tahun ini akan segera selesai. InsyaAllah semua suka duka selama
menjalaninya sudah terbayarkan. Alhamdulillah...alhamdulillah....
Semua ini tidak pernah lepas dari
campur tangan Allah.
Selalu saja Ia kirimkan berbagai macam
jalan keluar saat diri ini tidak tahu harus memohon bantuan kepada siapa lagi
:(.
Hal paling berkesan bagi saya adalah
ketika saya menuliskan halaman persembahan. Hampir semua teman-teman mungkin
menuliskan nama orang tua atau keluarga mereka, saya pun melakukannya ketika
menulis skripsi dulu. Namun untuk tesis ini, saya menuliskan hal yang berbeda :
Tesis ini saya persembahkan untuk guru SD saya, Bapak (Alm) R.Soeharto yang telah berjasa menanamkan nilai perjuangan di awal-awal saya memasuki dunia pendidikan.
Pak Harto, demikian beliau dipanggil, menjadi
sosok “guru” yang paling berpengaruh menanamkan nilai-nilai perjuangan di
awal-awal saya memasuki dunia pendidikan. Beliau mengajar saya dari kelas 2
hingga 3 SD. Selain menjadi wali kelas, beliau juga merupakan pelatih badminton
hingga saya menyelesaikan pendidikan SD, yang berlokasi di sebuah desa kecil kabupaten
Sragen.
Pak Harto adalah guru yang tingkat
kedisiplinannya sudah melegenda sejak lama di desa kami. Saking disiplinnya,
beliau dianggap sebagai guru paling killer di sekolah. Pak Harto amat sangat
membenci kebodohan, itulah mengapa beliau sangat antusias dalam mengajar. Beliau
selalu berusaha “mengajar lebih” dari kebanyakan guru lainnya, tanpa bayaran
sepeserpun.
Saya ingat, meskipun saat itu beliau
hidup sulit, tapi beliau tetap semangat mengajar. Beliau tinggal di sebuah
kontrakan kecil 4x4 m di area pasar bersama keluarganya. Ukuran itu mungkin
sedikit lebih besar dari kos-kosan kita saat ini, tapi beliau tinggal bersama
istri dan dua anaknya. Bisa dibayangkan kan ya sempitnya seperti apa?.
Kontrakan kecil itulah yang menjadi
saksi semangat beliau. Beliau mengadakan les gratis untuk murid-muridnya setiap
jam 3 sore, setelah beliau pulang dari mengajar dan selesai bercocok tanam di
sawah. Beliau mengajar dengan alat seadanya : kapur, papan tulis hitam, dan
kertas-kertas bekas untuk kami latihan soal atau mengerjakan post test. Kami
sebagai murid ini hanya tinggal berangkat saja dan mengikuti
pengajaran-pengajaran yang beliau berikan.
Tahun-tahun pertama, jumlah kami yang
mengikuti les cukup banyak. Ada sekitar 80% dari jumlah siswa di kelas. Namun lambat laun,
jumlah itu semakin berkurang hingga tinggal 4 atau 5 orang saja yang konsisten
datang : Saya, Ernita, Hesti, Siti, dan Dewi. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan jumlah itu berkurang. Selain karena ada jadwal ngaji (TPA) tiap
sore, juga karena beberapa teman “tidak kuat” belajar dengan beliau.
Pak Harto ini sangat jelas dalam
menerangkan sesuatu, namun ini juga menjadi momok bagi mereka yang sulit
memahami di kelas. Beliau selalu “ngetes” pemahaman kami dengan menyuruh kami
mengerjakan soal di papan tulis, dan jika tidak bisa maka beliau akan mengajari
dengan sedikit “keras”.
Meski banyak yang takut dan memutuskan
berhenti “les”, tetapi saya bertahan disana. Mengapa? Karena saya tidak ingin
kalah semangat dengan beliau. Beliau yang hidup susah namun tetap memberi.
Beliau yang punya banyak kesibukan, namun tetap meyempatkan.
Saat naik kelas 3, pak Harto makin
sibuk dengan pekerjaan sawahnya. Jadi “les” diubah jadwalnya menjadi habis
maghrib. Ketar-ketirlah saya waktu itu. Diantara 4 teman yang lain, saya adalah
murid yang rumahnya paling jauh dengan rute pulang yang berbeda. Jarak saya ke
rumah pak Harto mungkin sekitar 3 km, melewati beberapa hamparan sawah luas
yang gelap dan pemakaman umum!. Saya berangkat dan pulang naik sepeda mini,
saat itu kami belum mengenal HP, bisa dibayangkan enggak “Saya yang parno
dengan gelap di jam 19.30 harus melalui itu sendirian”. Saya pernah bersepeda
sambil merem, ngebut lewat pemakaman, muter rute lain saat pulang, nunggu di
tempat tertentu sampai menemukan “teman pengendara” untuk melewati pemakaman
dll. Saya geli dengan kelakuan saya sendiri.
Kerja keras pak Harto ini lambat laun
sangat dirasakan manfaatnya. Di angkatan saya, SD yang awalnya tidak terkenal,
menjadi juara-juara dalam banyak lomba di wilayah kami. Dan lima orang yang
selalu berangkat “les” inilah yang menjadi perwakilan-perwakilannya. Tahu tidak
apa yang membuat kami menang?. Karena
kami melihat guru kami yang sangat bersemangat.
Beliau selalu berkorban dan tidak
pernah itung-itungan untuk memfasilitasi kami mengikuti lomba. Saya masih ingat
dulu beliau memiliki motor yang sangat tua. Astrea atau apa gitu ya mereknya.
Intinya sepeda motor itu kecil dan tidak sama bentuknya dengan motor-motor
sekarang. Motor yang seharusnya hanya cukup dinaiki 2 orang dewasa itu menjadi
berpenumpang 4 : pak Harto, saya, dan dua orang teman lainnya. Beliau tahu kami
orang desa, angkutan umum saat itu sangat langka, jadi beliau menjemput kami
dan mengantarkan kami ke tempat lomba. Motor beliau ini sering macet dan bannya
sering bocor. Tapi beliau cekatan untuk memperbaikinya di tengah jalan. Dan
itulah yang mendorong beliau membisiki kami sebelum lomba : “Ros, yen ra oleh juara 1 mengko baline
kaose diwalik wae!” (Ros, kalau tidak mendapatkan juara satu, kaosnya
dibalik aja kalau pulang). Dan mantra itulah yang membuat kami pulang dengan membawa
banyak trophi.
Saat naik ke kelas 4, pak Harto gagal
mengawal angkatan saya. Wali kelas kami ganti. Tapi lucunya, pak Harto masih
membuka “les” dan lebih banyak menjadi pelatih badminton kami setiap pulang
sekolah.
Gaya mengajar pak Harto di lapangan,
lebih keras daripada di kelas haha. Beliau sangat-sangat disiplin dalam melatih
badminton. Saya pernah telat beberapa menit, dan tahukah kamu?, saya kena
hukuman berlari sepuluh kali keliling lapangan tanpa alas kaki. Melalui
tangannya inilah, saya tumbuh sebagai anak yang sangat terobsesi dengan
olahraga badminton. Saya sempat memiliki cita-cita menjadi pemain UBER CUP
saking saya mencintai olahraga ini.
Untuk mengikuti olimpiade badminton,
kami biasa diseleksi dulu (biasanya yang berangkat hanya 3, menyesuaikan jumlah
orang yang bisa diangkut dengan motor beliau :( ). Untuk bisa ikut olimpiade,
kami harus bisa menghasilkan minimal 5 point saat melawan beliau di lapangan, sebagai
pemain single. Terdengar mudah?. Jangan salah. Untuk mencuri satu poin saja
dari beliau, kamu harus jatuh, tersungkur, dengan napas “ngos-ngosan”. Beliau
memahami kelemahan-kelemahan dan kekuatan kami. Beliau tahu saya sangat kuat
dengan pukulan dropshoot, maka beliau tidak pernah memberikan “bola tinggi”
untuk saya smash. Tapi beliau tahu kalau saya lemah di pukulan backhand, jadi
beliau selalu memberikan bola kiri yang amat jauh dari jangkauan saya. Jadilah,
saya babak belur!.
Karena mulai give up menghadapi permainan, saya mulai tidak fokus. Pak Harto tidak
lama kemudian memarahi saya di tengah lapangan :
“Ros,
capek itu boleh!. Tapi jangan sampai menyerah!”
Saya
ini musuh kamu di lapangan, kamu jangan sesekali menunjukkan sisi lemah kamu
padanya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa tahu sisi lemahmu!
Dan kalau sudah begitu, barulah saya
bisa kembali bermain lagi dengan baik.
Pengalaman sedih saya saat badminton
adalah ketika saya waktu itu kalah di semifinal. Saya kalah di babak pertama,
tetapi saya berhasil menang di babak kedua. Jadilah permainan itu Seri. Maka
untuk menjadi pemenang, saya harus bisa menang di babak tambahan (babak 3).
Namun malang, raket saya putus ditengah-tengah permainan. Saya sempat mau
nangis menahan malu. Raket yang saya gunakan untuk lomba saat itu adalah raket
dengan benang plastik murah. Harganya pun cuma 25 ribu (harga raket yang layak
saat itu sekitar 150 ribu). Kebayang tidak, saya ikut olimpiade di kabupaten dengan
“raket mainan”!.
Melihat saya yang mulai panik dengan
raket putus saya, pak Harto datang menghampiri saya.
Terus saja main Ros. Jangan sampai putusnya raketmu memutuskan harapanmu. Saya sudah tidak punya raket cadangan untuk kamu pakai, tapi kita jangan sampai meminjam ke lawan.
#Jleb
Itulah kalimat-kalimat yang akan
selalu saya ingat sepanjang masa. Meski saya kalah saat itu, tetapi saya tidak
kecewa karena saya sudah berusaha sebaik-baik yang saya bisa.
Pak Harto, meski beliau telah tiada,
tapi beliau akan selalu ada di hati saya. Beliau mengajarkan banyak hal pada
saya untuk tidak cengeng dalam menghadapi hidup ini. Beliau mengajari saya untuk
berani bermimpi besar serta berani untuk memmperjuangkannya.
Beliau memberikan contoh baik untuk
saya tiru ketika saya menjadi pendidik nantinya :
Jadikanlah kebencianmu terhadap kebodohan membuatmu mengerahkan segala potensi terbaikmu untuk mengajar”. Jadilah pendidik yang tidak takut berkorban untuk memberikan pencerahan dan terbukanya pola pikir mereka untuk terus belajar, sebagai ungkapan dari setiap rasa syukur. Jadilah pendidik yang rendah hati dan memberikan inspirasi agar murid-murid kita tidak segan berbagi ilmu, berbagi kebaikan.
Dan mengenang hal itu semua,
rasa-rasanya ucapan terimakasih ini tidak akan pernah cukup untuk membayar jasa
beliau pada saya selama ini.
Terimakasih pak Harto...semoga
amal-amal Bapak menjadi sebuah kebaikan yang akan menyinari bapak di yaumul
akhir nanti.
Hidup ini memang seperti sandiwara yang kita tidak pernah tahu akan berakhir seperti apa, Pak. Tapi saya punya Allah, dan Bapak punya Tuhan Yesus. Kita selalu punya pilihan dan selalu ada yang patut disyukuri dari pilihan-pilihan itu. Karena kita, selalu berusaha menyertakan Tuhan dalam segala urusan.
Semoga Rosita bisa menjadi manusia
terbaik dalam versi dirinya sendiri, yang akan selalu belajar, membagi, dan
mensyukuri apa-apa yang ia dapatkan saat ini.
Terimakasih telah menginspirasi, Pak!
Masya Allah
BalasHapus