Saya
mungkin termasuk kelompok yang sudah kebal dengan pertanyaan-pertanyaan “kapan
nikah?” yang sudah sangat sering saya dengar di telinga saya. Baik menjelang
lebaran, momen bertemu teman lama, bahkan dalam perbincangan sehari-hari. Semua
orang seakan-akan bersepakat pada satu hal yang sama : “Kami ingin segera
melihat Rosi menikah”.
Beruntung
sekali berada di lingkungan teman-teman yang amat peduli pada saya. Tetapi di
satu sisi mungkin mereka tidak cukup tahu dengan apa yang saya alami selama
ini.
Banyak
yang mengatakan bahwa saya adalah orang yang “picky”, saya judes sama laki-laki, cuek, tidak peka dan sebagainya.
Saking banyaknya yang mengatakan seperti itu, saya introspeksi diri juga
akhirnya : apa iya?. Dan mau tidak mau, dalam beberapa hal saya memang harus
mengakuinya. Namun, saya menyadari bahwa semua itu saya lakukan karena saya
memiliki alasan.
Ya,
saya mengenal diri saya sendiri. Meski saya terlihat sebagai orang yang
ekstrovert, tetapi semua test menyatakan saya adalah introvert, terlalu asik
dengan dunia sendiri. Saya cenderung tertutup dengan hal-hal personal dan
pilih-pilih teman untuk bercerita, karena saya orang yang tidak mudah percaya
:(. Selain introvert, saya sangat “Thinking”
dan “Judging/rigid”. Perempuan yang
logis dalam banyak hal, tetapi menjadi tidak logis ketika berurusan dengan
perasaannya.
Ketidaklogisan
saya terhadap perasaan membuat saya menjadi “pemilih”. Saya orang yang sulit
mencintai laki-laki, tetapi saya sangat dalam ketika mencintai, ketika hati
saya sudah memilih. Dan konsekuensi yang harus saya tanggung tidak main-main :
saya terluka karena ekspektasi saya. Butuh waktu yang lama untuk mengobati diri
saya sendiri.
Saya
tidak pernah memiliki “hubungan khusus” dengan laki-laki, orang lebih
mengenalnya dengan istilah pacaran. Bukan karena saya merasa sok suci atau
menganggap hina sebuah hubungan diluar pernikahan. Tidak. Saya malu jika orang
menilai saya begitu menjaga diri saya, padahal ada hal-hal busuk yang Allah
tutupi dari diri saya selama ini.
Saya hanya ingin mencintai satu laki-laki dalam hidup ini.
Mungkin
keinginan ini terlalu idealis, tapi itulah yang ingin saya perjuangkan. Saya
ingin memilih laki-laki karena saya tahu ia adalah tujuan saya, bukan karena ia
terbaik diantara pembanding lainnya. Ia bukan pilihan, ia adalah tujuan. Dan
itu tidak akan saya dapatkan ketika saya begitu mudah menjalin hubungan dengan
laki-laki.
Saya
judes dan saya cuek dengan laki-laki. Iya itu benar. Tapi bukan berarti saya
tidak bisa bersahabat dengan laki-laki. Saya bisa berteman akrab dengan orang-orang
yang saya percaya menjadi sahabat saya. Yang saya bisa merasa aman untuk
berteman dengannya. Yang saya rasa persahabatan kami akan memberikan manfaat
kebaikan lebih besar daripada hal-hal buruk lainnya. Saya rasa, ini adalah
naluri yang lumrah dimiliki oleh kebanyakan manusia.
Saya
cuek dengan laki-laki yang mencoba mendekati saya melalui cara-cara yang tidak saya
suka. Karena cueknya, mereka bilang saya ini sombong. Ya tidak apa-apa. Tapi
saya hanya tidak ingin menyakiti seseorang yang tidak bisa saya balas
perasaannya. Kalau tidak suka, mengapa saya harus menebar banyak harapan?, ini
yang saya pikirkan berkali-kali.
Ah,
rumit.
Tapi
demikianlah adanya :(. Maaf kalau saya tidak bisa menyenangkan banyak orang.
Ada yang harus saya lindungi : diri saya sendiri.
Menikah, adalah cara saya mencintai.
Tidak ada jalan paling baik bagi dua orang yang saling mencintai kecuali dengan menikah (HR. Ibnu Majah)
Saya
beberapa kali memikirkan maksud dari hadist ini. Islam mengajarkan bahwa “menikah
adalah jalan paling baik dari dua orang yang saling mencintai”.
Bagi
kaum milennial, ajaran ini mungkin dianggap sebagai sesuatu yang konservatif.
Ya, karena kebanyakan menilai pernikahan hanyalah sebagai sarana “memenuhi
kebutuhan biologis” semata. Saya generasi milennial, tetapi saya sepakat pada
apa yang Islam ajarkan. Karena bagi saya, menikah bukan cuma soal pemenuhan
kebutuhan biologis, seks, atau hal-hal yang sifatnya material. Lebih dari itu,
bagi saya menikah adalah cara saya mencintai. Dan dalam mencintai, ada
keberkahan yang hadir sebagai kunci kebahagiaan diantara dua hati yang
menjalaninya.
Kita
mencintai seseorang karena kita melihat hal-hal baik yang ada pada diri orang
tersebut. Namun, ketika orang tersebut memunculkan hal-hal buruk dari diri
mereka, apakah kita akan tetap mencintainya?.
Pernikahan
akan menghadirkan orang yang kita cintai dalam “wujud aslinya”, baik dan buruknya.
Membuat kita tetap bertahan untuk hidup dengannya : karena kita bisa menerima
bahwa ia hanyalah manusia biasa. Kita tetap mencintainya karena kita mampu melihat
kebaikan dari dirinya (yang mungkin tidak bisa dilihat oleh orang lain). Ini
yang tidak kita temukan ketika kita hanya menjalin “hubungan yang tidak ada
tujuan jelasnya”. Orang cenderung menampilkan dirinya sebaik mungkin di hadapan
sosok yang ia cintai, kadang mereka suka menggunakan topeng. Tetapi dalam
pernikahan, kita akan menemukan mereka pada kondisi apa adanya.
Kita
bisa mengenal dengan baik orang yang hidup satu rumah dengan kita : apa yang ia
lakukan dalam kemarahannya? Bagaimana caranya menyelesaikan masalah-masalah
dalam rumah? Bagaimana sikapnya ketika ia tidak memiliki apa-apa? Bagaimana ia
mempertahankan prinsip-prinsip hidupnya? Bagaimana ia memperjuangkan
cita-citanya? dan lain sebagainya. Meskipun pernikahan tidak selalu berisi
hal-hal yang menyenangkan, pada akhirnya kita akan kembali diingatkan : apa
yang membuat kita memilih hidup bersama?.
Karena
kita saling mencintai, dan kita saling menerima.
Dapatkah kau rasakan betapa aku mencintaimu? Aku tidak pernah bisa mengalami begitu banyak kegembiraan, sebanyak seperti yang aku rasakan ketika denganmu. Ini sungguh benar. Tidak pernah aku mencintai dengan begitu penuh rasa kasih, dengan begitu penuh kelembutan, juga dengan begitu penuh senang hati. Dengan perasaan takjub, bersamamu, aku merasa baik-baik saja...(Maxim Gorky, dalam buku “First Love”)
Apa yang dicari dalam pernikahan?
Ada
beberapa orang yang cukup skeptis ketika membicarakan pernikahan. Beberapa
mereka adalah orang yang sudah menikah dan kecewa dengan pernikahannya,
beberapa lainnya adalah mereka yang belum pernah menjalani pernikahan tetapi
sudah membuat generalisasi di awal.
Saya
pikir, semua kesan dalam pernikahan akan kembali pada pertanyaan awal : “Apa
yang dicari dalam pernikahan?”.
Mow
Ghat (salah satu petinggi Google) pernah mengatakan bahwa Happiness is equal to or greater than the difference between the way you see the events of your life and your expectation of how life should behave. So if life meets your expectations, you're happy. Kamu merasa bahagia, ketika kamu
menemukan apa yang kamu cari/harapkan.
Ketika
membaca beberapa alasan dan ulasan dari mereka yang skeptis, saya menemukan
kalimat-kalimat yang senada : “tidak mendapatkan”, “tidak memperoleh”, “tidak
merasakan”, “berkurang produktivitasnya”, “terkekang” dll. Semua berasal dari
keinginan untuk “mendapatkan sesuatu”.
Mereka
kecewa, karena mereka tidak mendapatkan. Mereka (dan saya), harus siap kecewa
dengan hukum alam bahwa semakin banyak mengharapkan, semakin harus siap dengan
rasa kecewa. Dan pada kenyataannya, pernikahan tidak berjalan semanis itu.
Saya
terus menerus mengajari diri saya dengan pola pikir memberi. Dan ini tidak
mudah. Pelajaran tentang bagaimana kita memberikan yang terbaik pada orang yang
kita cintai, tanpa perlu berharap lebih ia akan melakukan hal yang sama untuk
kita. Setidaknya, pola pikir seperti ini yang akan meminimalkan hadirnya rasa
kecewa di tengah-tengah kita.
Fokus
saja memberi yang terbaik. Bahagianya, akan menjadi bagian dari bahagia kita.
Ini
yang membuat saya memutuskan bahwa saya harus menjadi orang yang bahagia dulu
dengan diri saya, jadi saya tidak lagi terlalu berharap akan mendapatkan
bahagia yang setimpal dari orang lain. Cinta bukan soal transaksi dimana saya
bisa memberi, lalu saya akan mendapatkan hal yang sama darinya.
You can be the sunshine for another person. You can’t offer happiness until you have it for yourself. So build a home inside by accepting yourself and learning to love and heal yourself. Learn how to practice mindfulness in such a way that you can create moments of happiness and joy for your own nourishment. Then you have something to offer the other person.
Perjuangkan
apa-apa yang membuatmu bahagia saat ini, sebelum kamu memutuskan untuk hidup
bersamanya dan membagi ego dengannya.
Kalau bahagiamu adalah soal mendekati cita-cita, maka perjuangkan cita-citamu dari sekarang.
Kalau bahagiamu adalah soal mendekati cita-cita, maka perjuangkan cita-citamu dari sekarang.
Kalau
bahagiamu adalah dengan menjadi bermanfaat bagi orang lain, jadilah bermanfaat
dari sekarang.
Kalau
bahagiamu dengan menjadi orang yang berilmu, maka banyak-banyaklah belajar dari
sekarang.
Kita
bisa mendapatkan semua itu dalam masa-masa menanti kita. Tanpa perlu
menunggunya datang untuk memulai semua dari awal.
Saat
ini, saya sedang melakukan hal-hal itu : memperjuangkan cita-cita saya. Karena
saya tidak ingin terlalu berharap lebih pada orang lain, meskipun ia akan
menjadi bagian dari hidup saya. Konsekuensi dari pilihan ini, beberapa orang
melihat saya sebagai perempuan yang mandiri seolah tidak butuh laki-laki hehe.
Bahkan ada beberapa laki-laki yang terang-terangan mengatakan minder dengan
pencapaian-pencapaian saya. Saya bingung : apa yang perlu diminderkan?.
Saya
seperti ini, karena mengingat-ingat pesan ibu :
Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat
Akal
kita mungkin bisa melogika, tetapi hati kita akan tahu kemana ia melabuhkan pilihannya.
Ia harus siap dengan apapun yang ia pilih. Meski ada banyak ketidaksempurnaan
dalam pilihannya.
Kalau
merasa pemahaman agamanya belum baik, segeralah belajar, tanpa perlu bergantung
pada pemahaman agama seseorang yang ditakdirkan menjadi jodoh kita. Keshalehan seseorang tidak mutlak ditentukan dari berapa banyak juz yang dia hafal atau dari penampilan semata. Tetapi juga dari bagaimana ia memaknai agama sebagai jalan hidupnya. Ia melakukan sesuatu karena tahu alasannya...dan ia memilih tidak melakukan sesuatu karena tahu tuntunannya.
Kalau
merasa belum matang secara emosional, segeralah menyadari kekurangan diri
sendiri, belajar menerima dan melatih mengendalikan emosi. Tanpa perlu berharap
akan dipasangkan dengan seorang penyabar.
Kalau
merasa belum siap secara finansial, berusahalah untuk membekali diri dengan
keterampilan-keterampilan hidup yang bisa kita andalkan kelak. Jangan menunggu
mapan, baru menikah. Tapi bekali diri untuk bisa tumbuh dan berkembang bersama.
Cinta kita akan diuji ketika ia tidak bisa memberikan apa-apa untuk kita.
Jangan sampai perasaan kita dikendalikan dengan hal-hal yang bersifat material
semata. Terlalu kerdil.
Belajarlah untuk selesai dengan diri sendiri
Jika
penulis akan diuji dengan tulisannya, maka menuliskan hal ini adalah
cara saya mengingatkan diri sendiri.
Pun
ketika saya sedang meletakkan harapan pada seseorang, saya tetap harus melihat
apakah dia akan memperjuangkan saya untuk hidup dengannya?. Karena saya ingin
menikah...bukan ingin bermain-main dan menyakiti perasaan saya atau perasaan
orang lain.
Karena sampai detik ini saya masih percaya, bahwa Allah akan mempersatukan dua orang yang saling mencintai dan saling memperjuangkan.
Komentar
Posting Komentar