Tulisan ini dibuat pukul 00.43. Bukan
karena saya kerajinan bangun jauh lebih awal dari jam tahajud saya, tapi karena
malam ini saya sulit tertidur. Batuk yang saya derita membuat saya tidak nyaman
untuk memejamkan mata. Sekalinya saya batuk, tenggorokan dan lambung saya
terasa sangat sakit. Mungkin saya sedang radang, dan mau tidak mau besok saya
harus ke dokter karena gejala ini sudah berlangsung 3 hari. Sepulang dari acara
capacity building, saya mulai merasa demam dan disusul radang seperti ini.
Entahlah, sepanjang hidup ini saya
selalu berpikiran bahwa umur saya tidak panjang. Bukan, bukan karena saya
berprasangka buruk kepada Allah. InsyaAllah tidak seperti itu, tapi memang
itulah cara yang ampuh untuk membuat saya hati-hati dengan apapun yang saya
lakukan dan saya akan selalu bersemangat dalam menjemput kebaikan. Besok saya
belum tentu masih hidup, jadi mungkin inilah saat yang tepat bagi saya untuk berbuat baik. Itu yang saya
pikirkan. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah, karena tidak
semua orang dibukakan hatinya untuk merasakan adanya peluang kebaikan di
sekitarnya J.
Malam ini saya teringat ibu saya. Apakah
beliau sekarang baik-baik saja? Apakah beliau benar-benar sudah sembuh?. Banyak
sekali pertanyaan dan kekhawatiran-kekhawatiran dalam benak saya saat ini. Sekitar
seminggu yang lalu mama sakit dan saya baru dikabari ketika beliau sudah
membaik. Mama saya dibawa ke rumah saudara saya di bekasi untuk dirawat dan
dibawa ke dokter. Hasil pemeriksaan, beliau mengalami infeksi dan sudah
diberikan obat yang sesuai sehingga kondisinya makin membaik. Tapi mama tidak
pernah sakit seperti ini sebelumnya. Kakak sepupu saya mengatakan waktu itu
mama hampir pingsan di taksi setelah banyak muntah-muntah. Mama juga sangat
pucat.
Saya khawatir mama terlalu kecapekan.
Sebenarnya saya sempat meminta mama berhenti bekerja karena alhamdulillah saya
sudah tidak lagi bergantung kepada mereka dalam hal finansial. Kami hanya punya
satu tanggungan, adik saya satu-satunya yang masih kelas dua SMA. Awalnya, saya
pikir gaji Bapak masih cukuplah untuk hidup di rumah, karena rumah saya di desa
yang biaya hidupnya ¼ biaya hidup saya di Jakarta/Bandung. Tapi ternyata
keadaannya berubah drastis. Semenjak adik kecelakan serius di akhir tahun 2014,
kami bantu membantu untuk melakukan upaya apapun demi kesembuhan adik. Selama
tiga puluh satu hari adik berada di rumah sakit, di ruangan khusus yang tidak
bisa kami dapatkan dengan fasilitas BPJS. Tapi alhamdulillah lagi-lagi, Allah
itu selalu menyediakan masalah dengan sepaket solusinya. Kami dimampukan dan
diberikan kesempatan untuk mendapatkan adik kami kembali, dalam kondisi yang
lebih sehat dan lebih baik. Alhamdulillah.
Kami akhirnya saling bekerjasama lagi
dan bantu membantu. Alhamdulillah selama ini kami diberikan rejeki yang cukup
oleh Allah dari usaha-usaha yang kami lakukan. Berkat kegigihan mama, kami
bangkit kembali. Adik mulai membaik, bapak mulai berubah sangat baik ibadahnya,
kakak semakin lancar rezekinya, dan saya alhamdulillah mendapatkan beasiswa
yang cukup untuk memenuhi hidup saya sehari-hari, bahkan untuk membiayai
komunitas yang sedang saya bina.
Tapi dengan mama sakit, saya sempat
berpikir “Gimana ya kalau mama tidak bisa bekerja lagi?”. Setelah adik sakit,
mama lebih banyak menjadi tulang punggung keluarga kami. Secara penghasilan
saja, penghasilan mama hampir 4 kali lipat gaji bersih Bapak yang masih
tersisa. Kalau mama tidak bekerja, tentu akan signifikan sekali pengaruhnya
bagi kemandirian ekonomi keluarga kami.
Astaghfirullahaladziim...astaghfirullahaladziim...saya
sangat menyesal pernah berpikiran seperti itu.
Saya merasa keimanan saya saat itu
sedang berada dibawah titik nol. Ibaratnya bayi lahir yang belum bisa
menentukan pilihan, saya sebut sebagai titik nol, saya bahkan berada di level
minus yang lebih buruk dari itu. Allah memberikan saya kemampuan untuk berpikir
dan naluri keimanan untuk mempercayai. Saya tidak pantas berpikiran seperti
itu.
Saya sering tidur dengan mama, saya
suka memperhatikan wajah mama ketika tidur. Di usianya yang sudah 49 tahun,
mama masih terlihat cantik. Hanya mungkin mulai timbul kerut-kerut alami
sebagai bukti bahwa penuaan itu adalah keniscayaan yang dikaruniakan Allah
sebagai pengingat kita, agar semakin mensyukuri hidup, agar semakin memperbaiki
diri.
Mama semakin tua. Beliau tidak pantas
terus menerus berkorban seperti ini. Saya harus lebih meluangkan waktu untuk
beliau. Sekadar mendengarkan pesan-pesannya yang selalu menyejukkan pikiran,
sekadar berbagi tawa bersama, makan bakso di bawah temaram lampu ibukota, menceritakan mimpi-mimpi saya padanya, dan membahas hal-hal "kapan kamu nikah dek? masak belum dikenalin sampai sekarang?...
Saya kembali mengamati hembusan nafas
beliau ketika tidur. Sayup, tenang, dan teratur. Meski ada gurat kelelahan
dalam wajahnya, mama nampak begitu tangguh dengan dalam lelap tidurnya.
Ketenangan dan kepasrahan beliau saat
tertidur membuat saya tersadar. “Semua
yang ada di dunia ini adalah titipan, bukan milik kita”.
Mama bukan milik saya, mama miliknya
Allah. Semua rezeki ini milik Allah. Semua kesenangan ini milik Allah. Semua
kesedihan ini milik Allah. Orang-orang yang saya cintai milik Allah : bapak,
mama, adek, kakak, teman-teman baik...semuanya milik Allah.
Saya tidak bisa bergantung pada
sesuatu yang bukan milik saya. Mama milik Allah, saya tidak bisa selamanya
hidup bersama beliau, jadi saya harus siap kehilangan beliau. Kesehatan ini
milik Allah, saya hanya bisa menjaganya, bukan bergantung padanya. Rezeki ini
milik Allah, Allah berhak mengambil kapanpun Dia mau....semua orang-orang baik
di sekitar saya, tanpa terkecuali, semuanya milik Allah. Dialah yang
menggerakkan hati-hati mereka untuk berbuat baik ke saya, dan Dia pula yang
bisa mengambil mereka dari saya.
Lalu pada siapa saya harus bergantung?
Apakah pada diri saya sendiri?
Jika jawabannya bergantung pada diri
sendiri, saya akan menjadi orang yang sombong. Bagaimana bisa kita bergantung
pada diri sendiri jika kitapun adalah manusia yang lemah?.
Maka teringat sebuah pesan indah dari
sahabat saya yang mengatakan “Dengan menyadari bahwa kita tidak punya apa-apa
di dunia ini justru menyenangkan, tidak perlu takut kehilangan apa-apa”.
Pada akhirnya, kita akan kembali
bergantung pada Yang Memiliki. Apapun kondisinya, jika kita hanya bergantung
padaNya, kita tidak akan pernah merasakan kecewa berlebihan. Kita tidak merasakan
duka yang berlebihan, tidak pernah dihinggapi kesombongan yang berlebihan,
tidak merayakan bahagia berlebihan dan tidak mencintai segala sesuatu secara
berlebihan. Semua serba cukup. Kita selalu merasa cukup karena ada Allah yang
membersamai kita....
We can be happy no matter what happens
if we look at every problem from “God’s viewpoint” and never let what other
people say or do control your happiness...
Asal menyertakan Allah dalam setiap
tahap kehidupan yang kita lewati, insyaAllah semuanya baik-baik saja :)
Semoga istiqomah selalu...
Komentar
Posting Komentar