Tulisan ini dibuat sebagai self reminder kepada diri saya yang penuh dengan kekotoran dalam lisan, laku, dan pikiran.
Semoga bermanfaat bagi yang ikut membaca… :)
Pernah tidak merasa menyesal saat kita
baru saja melakukan sesuatu yang berlawanan dengan suara hati kita?.
Contoh kasus : pembatalan janji dengan tiba-tiba.
Setting waktu : pukul 4.00 pagi
Setting tempat : rumah
Setting agenda : janji untuk membantu teman mengurus kegiatan sosial.
Kronologi : jauh-jauh hari, seorang teman meminta kita untuk
membantu acaranya. Kita pun mengiyakan dan menyanggupi ketika diberikan amanah menjadi
salah satu relawannya. Acara itu dilaksanakan di hari Sabtu, pagi betul, jam 6
pagi sudah harus kumpul di TKP. Berdasarkan hitung-hitungan sederhana (jarak,
waktu tempuh, dan perhitungan kemacetan) seharusnya kita bisa berangkat dari
rumah pukul 4.40 tepat setelah shalat Subuh hingga pukul 5.00. Kondisinya kita
kita sudah bekerja dan hari itu adalah weekend, surga bagi kita yang ingin
membalaskan penat sepekan. Singkat cerita, karena masih mengantuk *dan lelah*,
ada dialog sederhana dalam diri kita. Satunya adalah suara hati kita yang
disampaikan malaikat, satunya sudah dipastikan setan yang bermain dengan hawa nafsu. “Sudahlaah, lanjut tidur saja. Ini kan sabtu, waktunya
liburan. Kamu gak capek kerja full 5 hari?. Bilang saja ibu lagi sakit, atau
ada keluarga jauh yang datang tiba-tiba”, kata suara itu dengan semangat. Tidak
lama kemudian, muncullan suara lain “Kamu kan sudah janji sama teman? Masa mau
tiba-tiba membatalkan? Bagaimana kalau ternyata tugas kamu gak bisa
digantikan?. Lagian ini kan hari libur, saatnya kamu mengisinya dengan hal-hal
baru yang bermanfaat”.
Dialog berhenti.
Kamu mengambil HP.
Mengetik sebuah pesan dengan jari yang lincah “Dear –teman-, maaf ya aku gak
jadi datang hari ini. Ibu sakit dan aku harus menunggu beliau di rumah”.
Tidak lama kemudian si –teman membalas-
“Wah, semoga ibu lekas sembuh ya. Iya tidak apa-apa” *di seberang sana
seseorang membalas dengan sangat polos penuh kebaikan sangka hingga dia pun
tidak berpikir panjang mengambil alih tugasmu, padahal dengan tugasnya sendiri
ia kerepotan.
End.
--------------------------------------
--------------------------------------
Berbicara tentang kejujuran, kita
tidak akan pernah bisa memisahkannya dari yang namanya kebohongan. Bagi saya,
ibarat sandal, dua hal ini selalu beriringan, tapi tidak untuk disatukan. Jujur
tidak akan pernah menjadi satu dengan bohong. Tidak ada “setengah jujur”, dan
tidak ada “setengah bohong”. Kejujuran itu mutlak, bukan relative. Tolak
ukurnya adalah suara hati kita sendiri.
Saya menuliskan ini bukan karena saya
tidak pernah berbohong. Sungguh.
Saya seringkali berbohong dan merasa
bodoh ketika selesai melakukannya. Saya merasa bodoh karena kebohongan itu
selalu berantai, tidak pernah terputus di satu titik kecuali kita sendiri yang
memutuskan kebohongan itu dengan sebuah “pengakuan kesalahan”, setidaknya
pengakuan pada diri kita sendiri.
Dalam konteks cerita yang saya
sampaikan di atas, coba kalau sang teman bertanya “Wah, ibu kamu sakit?. Saki
tapa?
Kita akan mencari jawaban yang paling
cepat terlintas “sakit demam”. Bohong kedua pun tercipta.
“Wah, sudah dibelikan obat?. Sejak
kapan sakitnya?”
“Sudah sejak kemarin. Sudah kok, sudah
dibelikan obat”. Bohong ketiga
“Semoga ibu lekas sembuh ya,
insyaAllah nanti aku dan teman-teman mau menjenguk kalau acara sudah selesai”
“Wah, tidak usah repot-repot. Tidak
usah dijenguk”
“Memang kenapa?”
“Kami sekeluarga mau kondangan ke
rumah saudara nanti sore”. Bohong keempat..
Dan seterusnya…
Seperti itulah sifat kebohongan. Ia
akan terus mengalir menemukan celah untuk menciptakan kebohongan-kebohongan
baru.
Saya jadi ingat sebuah kisah tentang
Mahatma Gandhi dan anaknya.
Suatu kali, anaknya diminta sang Ayah
mengantar ke satu tempat untuk sebuah rapat. Selepas mengantar, sang anak
diminta untuk mengirimkan mobil ke bengkel agar diperbaiki. Mereka pun
menyepakati waktu untuk janji bertemu.
Menjelang sore, sang anak tak kunjung
datang. Sang ayah menelepon bengkel tempat mobil diperbaiki. Kata bengkel,
mobil sudah siap tapi belum diambil oleh anak Gandhi. Tunggu punya tunggu, sang
Anak akhirnya datang juga. Kepada anaknya, Mahatma Gandhi bertanya, “Kok
lama?”. Lalu sang anak menjawab bahwa bengkelnya memang lama dan baru
menyelesaikan. Seketika Gandhi mengetahui bahwa anaknya melakukan kebohongan.
Lalu dia pulang dengan berjalan kaki.
Sang anak merayu-rayu ayahnya untuk
naik ke mobil dan pulang ke rumah, tetapi sang ayah berkata “Biarlah
aku berjalan kaki saja, sebagai hukuman pada diriku sendiri yang tidak berhasil
mendidik anak untuk berkata jujur dan tidak berbohong”. Akhirnya sang
anak dengan laju mobil yang sangat pelan mengikuti sang ayah dari belakang
sapai ke rumah. Dan hari itu, sang anak mendapatkan pelajaran tentang kejujuran
yang sangat besar.
Hal yang dialami Gandhi, juga pasti
akan pernah kita alami.
Apa yg membuatmu merasa paling gagal menjadi seorang Ibu? Ketika anakmu berbohong tanpa merasa bersalah. Ketika ia mengarang cerita sedemikian rupa untuk mencari pembenaran atas kesalahan. Ketika ia mencari rasa nyaman dan bangga atas setiap kebohongan serta cerita yang disajikan....Menanamkan jujur itu butuh effort yg luar biasa. Karena seringkali pahit jauh lebih berharga untuk dirasa dibanding manis yang tiada tara...(Ibu Ratna Prabandari)
Seperti itulah seorang Gandhi dan Bu
Ratna mengajari anaknya tentang kejujuran. Bagi Gandhi dan bu Ratna, kejujuran
itu ibarat nyawa dalam diri seseorang. Jika ia sudah mulai melupakan esensi
kejujuran dalam dirinya, maka apakah ada nyawa dalam dirinya?. Ia mati karena
membunuh dirinya sendiri.
Saya selalu berusaha belajar dari
apa-apa yang pernah saya lalui dalam hidup ini. Satu hal yang saya percaya
adalah bahwa kejujuran itu adalah cara kita menghargai diri sendiri. Orang
tidak akan pernah tahu apakah kita jujur atau bohong, Tuhan pun juga tidak akan
dirugikan sedikitpun saat kita berbohong, tapi ingat, semua penyesalan yang
muncul dalam diri kita adalah bukti nyata bahwa :
Kita telah menyakiti diri sendiri…
Qulil
haqq walau kaana muran..(Berkatalah yang benar, meskipun itu menyakitkan)
(Muhammad
SAW)
Komentar
Posting Komentar