Penjual kacang yang tahu prioritas.
Saat
melihat orang yang jualannya laris manis, kita sering mendengarkan orang mengatakan
“waah, dia jualannya laku banget! kayak kacang goreng aja!”. Adakah hubungan
antara “kacang goreng” dengan “laris manis”? saya rasa tidak ada hubungannya.
Toh, tidak semua pedagang kacang goreng dibanjiri dengan pembeli. Dua hal yang
berbeda tidak bisa dijadikan sebuah analogi jika tidak menghasilkan sebuah
hubungan timbal balik yang sama. Tapi saya tidak ingin membahas tentang kacang
goreng. Saya ingin membahas tentang kacang rebus..hehe..Tidak semua penjual
kacang itu dagangannya laris manis. Buktinya adalah penjual kacang rebus di
stasiun Pondok Cina yang akan saya ceritakan ini.
Tiga
hari yang lalu saya dibuat berdecak kagum oleh penjual kacang rebus. Ditengah-tengah kesibukannya berjualan,
bapak-bapak tersebut selalu memprioritaskan ibadah diatas segalanya. Setiap
adzan maghrib berkumandang, beliau segera menyelinap pintu gate ini di stasiun
untuk melaksanakan shalat maghrib di mushola yang berada dalam stasiun. Hampir
setiap hari sebelum berangkat mengajar di daerah Pasar Minggu, saya selalu
melihat beliau mengerjakan hal yang sama saat adzan berkumandang.
Kalau
anda seorang pengguna setia kereta commuter line jabodetabek, anda pasti tahu
bahwa waktu maghrib adalah waktu yang paling strategis untuk berjualan makanan,
makanan apapun. Karena pada jam ini, kereta jurusan Bogor intens melintasi
stasiun Pondok Cina setiap 5 menit sekali. Delapan gerbong kereta tersebut
selalu terlihat penuh sesak karena menganggut ribuan orang yang baru pulang
dari kerja. Saat kereta berhenti di Pocin, kita bisa menyaksikan lautan manusia
turun dari kapal persembunyiannya *agak lebai, tapi memang benar adanya*. Daaan
kalau anda anak ekonomi pasti anda tahu apa hubungannya “banyak orang” dengan “potensi
penjualan barang”. Kalau saja bapak ini mau bertahan di tempat jualannya dan
melayani pembeli yang datang-pergi, tentu ia akan mendapatkan banyak uang tiap
harinya. Tapi apa yang ia lakukan?. Ia memilih untuk menepati janji ketemuan
dengan Tuhannya. Ia meninggalkan arena perjuangannya dalam mengais rejeki untuk
berjalan santai menuju tempat shalat. Sepertinya ia tahu benar hakikat rejeki.
Ia percaya bahwa Allahlah yang akan memberinya rejeki, ia percaya bahwa Allah
sekali-kali tidak akan mendzalimi hidupnya dengan menahan rejekinya. Ia memilih
dengan kelapangan hatinya yang besar.
Kakek penjual es mamboo.
Dua
hari yang lalu, saya melihat seorang kakek tua menggendong peti es kecil di
depan palang stasiun. Meskipun usianya sudah senja, namun beliau tetap terlihat
bersemangat dalam menjajakan dagangannya. Sekilas, saya memandangi barang
jualannya. Agak merasa miris. Kakek tersebut menjual es mambo yang dibungkus
dengan plastik bekas kemasan Pop Ice, beliau menwarkan dagangannya dengan harga
Rp 1000/buah. Tidak mahal memang. Namun, di lingkungan seperti ini saya pikir
si kakek akan kesulitan menjualnya. Mahasiswa lebih suka membeli minuman ringan
dalam botol bukan? apalagi jika harus menghadapi “mereka” yang overhygiene,
mungkin mereka akan mengatakan : “jangan2 kemasannya itu dari bekas bungkus pop
ice yang dibuang di tempat sampah trus di pungut lagi. How disguising!”. Tetapi
sekilas saya mengingat perkataan kedua orang tua saya : orang-orang seperti itu
butuh dibeli dan jangan pernah menawar harga kepada mereka!. Akhirnya saya
putuskan untuk mendekati si kakek yang terlihat kelelahan itu. “Beli berapa
Neng?”, katanya. “Satu aja, Pak”, jawab saya. “Kakek kasih dua ya Neng,
harganya tetep 1000 kok”, jawab beliau dengan senyum. Saya tidak menolak
tawaran beliau. Setelah melihat uang di dompet,ternyata saya tidak memiliki
uang pas. Bapak tersebut mengaku tidak memiliki kembalian karena saya adalah
pembeli pertamanya. Saya terdiam sejenak, kalau ini bukan tempat umum mungkin
saya sudah menangis sesenggukan. “Bagaimana bisa saya menjadi pembeli pertama?
bukankah hari sudah sore? apakah sejak tadi pagi dagangan kakek belum ada yang
laku?, pikir saya dalam hati. Dengan pertimbangan tersebut, saya putuskan untuk
tidak meminta kembalian. Ah biarlah, nanti Allah pasti akan mengganti dengan
yang lebih baik, pikir saya dengan optimis.
Kakek penjaja koran
Kalian
mungkin sudah tidak asing dengan para penjual koran di stasiun. Tapi penjual
yang akan saya ceritakan ini berbeda dari penjual koran lainnya. Usianya tidak
semuda para pesaing dagangnya,mungkin sekarang sudah berusia 70an, tapi semangat
berdagangnya begitu luar biasa. Saya biasa melihat beliau duduk lesehan di
peron stasiun pasar minggu jam 9 malam setelah saya selesai mengajar les dan
akan kembali ke Depok. Logika manusia biasa, mungkin sebagian kita mengira
bahwa : “mana ada orang yang mau beli koran malam-malam? bukannya beritanya
sudah kadaluarsa?”. Tapi lagi-lagi saya mencoba untuk melihat dari perspektif
lain. Ada kebanggaan yang begitu besar saat saya melihat kakek tersebut tetap
setia menunggui barang dagangannya sedangkan tidak jauh di dekatnya ada seorang
pemuda yang masih gagah memutuskan untuk meminta-minta pada setiap orang yang
lewat di pintu masuk. Ya, tentu saja berbeda. Yang satu sudah tua tapi masih
berusaha dan yang satu masih muda tapi memilih jalan yang ia anggap mudah.
Instan. dan konon lebih menjanjikan.
Kakek penjaja celengan dari tanah liat.
Kalau
kalian sering berkunjung ke Margo City dan melewati jembatan penyeberangan pada
jam 16.00-23.00, kalian tidak akan asing dengan wajah sejuk seorang kakek penjual
celengan yang menggelar dagangannya tepat disamping tangga turun Margo City
ini. Kesan pertama yang muncul saat saya bertemu dengan kakek ini adalah kesan
mengharu biru karena wajah kakek ini sangatlah mirip dengan wajah kakek saya
yang meninggal 8 tahun yang lalu. Sore itu jam 16.00 sore, saya melihat sang
kakek sedang bersiap-siap menggelar dagangannya. Beliau menjual celnegan tanah
liat dengan berbagai macam bentuk karakter dengan berbagai variasi warna. Sang
kakek membawa 2 buah keranjang besar yang berisi sekitar 20 buah celengan besar
dan kecil. Keranjang tersebut beliau pikul dengan menggunakan kayu yang
disangga pundaknya.
Setelah
kembali mengajar, pukul 23.00 malam, saya masih melihat sang kakek yang tetap
berada pada tempat awal saya bertemu dengan beliau. Sekilas saya mencoba
mengamati. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi awal yang saya lihat.
Dagangannya masih sangat banyak, apakah karena tidak ada yang membeli?, pikir
saya menduga-duga.
Ditempat
seperti ini memang tidak mudah untuk menjual barang-barang konvensional,
apalagi celengan yang berasal dari tanah liat. Kalau dilihat dari analisis
kompetitor, tempat beliau berjualan agak kurang strategis. Di seberang jalan
ada Depok Town Square dan persis di depannya terdapat Margonda City Mall,
tempat dimana orang-orang berkelas ekonomi atas membeli barang-barang
kebutuhannya. Mayoritas dari mereka lebih suka untuk berbelanja di dalam mall
karena lebih banyak pilihannya.
Rupanya
saya mewarisi sifat ibu saya yang mudah
iba. Saya memutuskan untuk membeli dua buah celengan bentuk doraemon, satu
untuk saya dan satunya untuk Ardan, rekan saya di DKM. Harga celengan yang
beliau jual tidak terlalu mahal. Hanya 10 rb untuk celengan kecil dan 12-15 rb
untuk celengan besar, saya pikir harganya terlalu murah untuk barang sebagus
ini.Kakek tersebut terlihat senang. Berulangkali beliau mengucapkan kalimat
syukur dan senyum selalu beliau sunggingkan untuk melawan tulang pipinya yang
semakin keriput. Rupanya bahagia itu tidak serumit yang orang lain mau, kakek
ini memaknai kebahagiaan dengan segenap rasa syukur yang beliau miliki.
MasyaAllah......
Sosok-sosok
yang saya bahas diatas hanyalah segelintir kecil dari banyaknya orang-orang tua
yang tetap memiliki harga diri dan etos kerja yang tinggi untuk mencukupi
kebutuhannya sehari-hari...
Mereka memang miskin, tapi mereka
punya hati yang kaya.
Mereka memilih berusaha sebelum
meminta-minta...
Mereka adalah orang yang optimis dalam
menghadapi kehidupan...
Dan mereka selalu percaya...bahwa
bahagia itu sederhana...bahwa bahagia itu saat mereka makan dengan uang
halal....mereka membeli baju dengan uang halal, mereka menyekolahkan anak cucu
mereka dengan peluh keringat mereka sendiri....
Orang-orang
seperti ini tidak perlu kita kasihani...tapi PERLU KITA BELI!
Mari
kita beli dagangan-dagangan mereka J
Komentar
Posting Komentar